Hari Ini

Hari ini adalah tentang sebuah hujan di penghujung bulan oktober,
dengan angin kencangnya yang merusak payung-payung murahan yang kemudian berakhir di tong sampah stasiun.

Hari ini adalah tentang belajar huruf-huruf inggris kuno yang kemudian mendapat pengaruh dari bahasa  prancis, latin dan nordic di abad pertengahan. Sulit, namun fascinating.

Hari ini adalah tentang gym yang penuh dengan orang-orang berolah raga dengan tubuh bau keringat. Entah yang ingin menurunkan berat badan atau ingin menambah massa otot. Walaupun berbeda-beda, namun masing-masing pasti memiliki tujuan.

Hari ini adalah tentang seorang nenek di kereta yang bercerita kepada seorang kakek, tentang ketidaksabarannya untuk segera tiba di rumah dan menelepon putranya yang sedang berada di Catalonia.

Hari ini adalah tentang sebuah semangat baru untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

13.03.18

"Aku mengasihimu sekalipun kamu bukan siapa-siapa."




Hari ini kembali aku cek hasil ujianku di website universitas. Sejujurnya sedari kemarin aku sudah mempersiapkan diriku untuk meghadapi segala yang terburuk, dan meninggalkan semua ekspektasi-ekspektasi utopisch yang kumiliki selama ini. Aku mengaku pasrah, tapi aku nggak memperhitungkan sama sekali bahwa hasilnya sudah keluar hari ini.

Berbeda dari hari-hari sebelumnya, di sebelah nama mata kuliah ada tertulis informasi baru; "endgültig nicht bestanden." Aku coba melihat kembali dengan jelas, namun tulisan di layar komputerku tidak berubah. Aku yang saat itu sedang menerima telepon dari seorang sahabat tidak lagi mendengar apa yang dia ucapkan. Dengan dalih ingin bersiap-siap berangkat ke kerjaan, aku sudahi pembicaraan kami di telepon.

Aku tertegun kembali membaca tulisan di layar laptopku. Setelah beberapa menit memproses semuanya, tanganku mengambil handphone dan segera menelpon Standy lewat WhatsApp.
"Nggak lulus," ucapku singkat dengan suara terpelan yang pernah aku gunakan saat berbicara dengannya. Tanpa jeda untuk menghela nafas dia menjawab, "ya sudah, mulai hari ini kita fokus mikirin rencana ke depannya ya." Aku mengiyakan. Dia bicara lagi tentang makan, apakah aku mau makan di luar dan ngobrol, apa aku sudah makan. Aku sudah nggak betul-betul dengerin lagi. Sambungan telepon terputus setelah sepakat untuk bertemu nanti, sehabis aku bekerja.

Kemudian teringat olehku ucapan Standy tempo hari. Soal aku yang harus berterus terang tentang kondisi perkuliahanku kepada keluargaku. "Minimal Bapak dan Maria, mereka itu orang terdekatmu." Aku tahu dia benar, tapi aku sama sekali nggak punya nyali bercerita tentang kegagalan. Cerita kegagalan bagiku bukan suatu hal yang bisa dengan gamblang dibagikan di depan orang lain, sekalipun orang terdekatku sendiri. Namun aku merasa, saat ini adalah waktu yang tepat. Dengan HP masih di tanganku, aku mencoba menghubungi Maria. Setelah beberapa kali dering, teleponku diangkatnya. Terdengar suara bising di seberang sana.

"Hallo, kenapa?" tanyanya dengan kecuekan seperti biasa. Walau sering kesal, aku nggak bisa nyalahin dia 100 persen. Memang akulah yang sering menelpon dia untuk sekedar menggoda atau bicara hal remeh temeh lainnya. Tapi hari ini berbeda.
"Aku nggak lulus ujian."
"Heh?" ucapnya. Kali ini dengan sedikit perhatian.
"Ya, nggak lulus. Percobaan ketiga. Terancam DO."
Aku mendengar suara terperanjat di ujung sana. Adikku bicara, "Kak, serius? Kaaaak..."
Aku dengar dia permisi untuk meninggalkan ruangan. Sesaat tidak kedengaran suara apapun di bagian sana. Rasanya kayak lama sekali. Kemudian aku kembali mendengar suaranya. Ya ampun kak. kok bisa kak, terus kakak sekarang mau gimana. Aku bingung menjawab satu persatu pertanyaannya. Aku berharap timbul pernyataan di antara pertanyaan-pertanyaan itu, sehingga aku tidak perlu menjawab. Namun satu hal di luar dugaanku, tidak ada sekalipun muncul kalimat yang menyalahkanku. Rasa masih nggak percaya, penasaran, terkejut, hanya itu yang terlontar darinya. Sempat dia malah menyesali kenyataan bahwa dia tidak cukup aware dengan permasalahan yang kakaknya hadapi di sini. Di satu sisi ada rasa sedikit lega dalam diriku, yang beberapa hari ini sudah terbiasa dengan "accusation" yang sebenernya mostly datang dari diriku sendiri. Tapi dadaku diliputi rasa haru ketika mendengar dia begitu mencoba memberikan suntikan kekuatan kepadaku lewat kata-katanya yang mencoba support aku untuk mau bangkit lagi. Aku ingat dia berkata bahwa mulai sekarang apapun keputusan yang aku buat harus memang karena itu dari diriku sendiri, bukan karena untuk menyenangkan bapak, dia, keluarga, tetangga, kakek nenek moyang. Bukan hanya untuk memuaskan rasa gengsiku saja. Bukan karena dorongan kekhawatiranku akan hari esok; mau jadi apa aku kelak. Dia bahkan mengatakan bahwa dia menyayangiku sekalipun nanti aku nggak jadi apa-apa. Mungkin ketika mendengar kalimat yang terakhir barusan, the classic Asrida bakal ngamuk-ngamuk dan bilang, "maksud lu? Jadi lu yakin suatu saat gw bakal ga jadi apa-apa dan lu bakal jadi lebih tinggi dari gw?" Tapi saat aku denger ucapannya, air mataku jatuh luruh karena aku menyadari, bahwa dia bicara itu bukan karena berpikir bahwa masa depanku akan berakhir suram, tapi malah sebagai bagian dari support system dia yang menyatakan bahwa apapun langkah yang nanti aku ambil dari sini, dia akan mendukung aku selalu. 

Saat itulah aku menyadari betapa bodohnya aku kalau berpikir aku sendirian dalam menghadapi semua ini. Aku memiliki support system yang lebih dari cukup dalam menghadapi dunia dan tantangan-tantangannya. Aku punya adik satu-satunya yang mendukung aku dan tetap percaya kalau aku bisa. Aku punya keluarga yang sekalipun mungkin nggak aware sama permasalahanku, namun tetap membawaku dalam doa-doa mereka. Aku punya pacar yang walaupun galak tapi mengharapkan aku memiliki masa depan yang terbaik. Aku punya teman yang bisa diajak tukar pikiran dan turut mendoakan aku. Dan di atas itu semua, aku punya Tuhan yang begitu besar, yang menyediakan rancangan terbaiknya yang spesial untukku. Maka dari itu aku ingin mulai bangkit mulai dari sekarang untuk menata kehidupanku, dengan bantuan my super support system.

PRAGUE
























Best Part


I just wanna see how beautiful you are
You know that I see it

I know you're a star

Where you go I follow
No matter how far
If life is a movie
Oh you're the best part



-Daniel Caesar-













kematian

Kematian adalah suatu keniscayaan dan sekaligus ketidakpastian yang terjadi pada semua makhluk hidup. Niscaya, karena pada akhirnya akan terjadi pada anda, namun tidak pasti, karena anda tidak akan pernah tahu kapan, di mana, dan bagaimana hal itu akan terjadi.

Sebagai orang percaya (yang menyebut dirinya seorang kristen, seseorang yang mengikuti ajaran Kristus meskipun kadang gagal dan jatuh), saya percaya pada konsep kehidupan setelah kematian. Fakta bahwa saya percaya hal tersebut memberi saya sedikit penghiburan setiap kali saya harus menghadapi kematian seseorang atau sesuatu (kadang kala anjing mati juga) yang saya cintai. Jadi, bahkan setelah hati saya hancur berkeping-keping setelah kematian Opung, saya selalu merasa tenang dengan berpikir bahwa sekarang dia berada di tempat yang lebih baik; lebih bahagia daripada sebelumnya. Hal yang sama terbersit ketika memikirkan mama, opung doli. Penghiburan, itulah yang saya dapatkan.

Orang atheis mungkin skeptis dan menganggap konsep kehidupan setelah kematian sebagai omong kosong belaka. Yang baik mungkin kasihan sama saya, sementara yang rada nggak baik mungkin menganggap saya tolol. Atau keduanya mungkin menganggap saya delusional. Tapi kemudian saya bertanya pada diri sendiri: apakah ada pilihan lain yang saya miliki? Karena bagi saya ini bukan hanya masalah iman semata (meski tentunya iman memainkan peranan penting di sini) tapi juga suatu cara yang bijak untuk memilih cara menjalani hidup saya. Saya lebih suka menjalani hidup dengan mengetahui bahwa saya sedang mempersiapkan diri untuk kehidupan yang lebih baik (dan abadi) di masa depan, daripada mengatakan kepada diri saya untuk hidup sepenuhnya ', melakukan apapun yang saya inginkan (karena anda tahu, YOLO!*), karena di pada akhirnya saya akan mati juga. Bahkan saya pikir jika kehidupan setelah kematian memang tidak ada, saya tidak merasa rugi pernah mempercayainya. Kenapa memangnya jika saya hidup dengan mematuhi peraturan, mencoba melakukan apa yang tuhan atau Tuhan 'ajarkan' untuk saya lakukan dan mencoba untuk tidak melakukan apa yang mereka atau Mereka atau Dia 'larang'. Jika disebut delusional oleh orang-orang tertentu adalah satu-satunya harga yang harus saya bayar, saya rasa itu adalah hal yang kecil. Terutama dengan hadiah yang sudah saya terima sekarang, dengan percaya bahwa orang yang saya cintai berada di tempat lain selain terkubur di bawah tanah dengan cacing-cacing perlahan memakan tubuh mereka.

Saya juga mendapat penghiburan dengan melihat kehadiran mereka di dalam diri orang lain. Terkadang, saya melihat mama di dalam diri saya, saat saya melihat ke cermin. Pada lain kesempatan di dalam adik saya. Bukan hanya karena kemiripan kami dengan mama, tapi karena saya tahu beberapa hal dalam diri mama masih ada tertinggal dan berjejak di dalam diri kami. Atau juga setiap kali saya melakukan hal random yang biasanya dilakukan Opung, saya tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa dia masih hidup melalui saya. Jadi pertanyaannya adalah; apakah mereka benar-benar pergi? Jawaban saya: I don't think so;  terlepas dari kenyataan apakah kehidupan setelah kematian memang ada, atau tidak.



-untuk Opung dan Mama-



*YOLO: you only live once (hidup cuma sekali)

death

Death is the most certain and uncertain thing that will happen to all living creatures. Certain, because it will happen to you eventually, yet uncertain, since you'll never know when, where, and how it will take place.

As a believer (who called herself a christian; someone who follows Christ's teachings though sometimes failed and tumbled down), I believe in the concept of life after death. The fact that I believe in such thing gave me a bit consolation every time I had to deal with the death of someone or something (yeah cause sometimes dogs die too) I love. So, even after my heart broke into pieces after my grandma's death, I always found comfort by thinking that she's in a better place now; happier than ever was. It went the same every time I was thinking about my mom, my grandpa. Consolation, that's what I got.

An atheist might be sceptical and find such concept as a non sense. The nice ones might pity me, while the less nice ones might think I was a fool. Or both might find me delusional. But then I ask myself: what other choice do I have? For me this isn't merely a matter of faith (although it surely plays the most significant role) but also a wiser way to choose how to live my life. I'd rather live my life, knowing that I am in the middle of preparing myself for a better (and eternal) life in the future, than telling myself to live to the 'fullest', do whatever I want (since you know, YOLO!*), because at the end of the day I will die anyway. Even if the life after death never existed, I don't see any disadvantage of believing if it does. So what if I live by obeying the rules, trying to do what god or God 'tell' me to do and trying not to do what they or They or He or She 'forbid' me. If being called delusional by certain people is the only price I should pay, I think I can manage it. Especially with the prize I already accepted, by believing that my loved ones are somewhere other than buried under the ground with worms and stuffs slowly consuming their bodies.

I also find some consolation by seeing their presence in someone else's. Sometimes, I see my mother in myself, when I look in the mirror. Some other times in my sister. Not only because of our resemblances or stuffs, but because I know that some parts of her still exist in us. Also every time I do some random things that my Grandma usually did, I can't ignore but see how she still lives through me. So the question is; are they really gone? My answer is: I don't think they are, regardless of the fact whether life after death does exist, or not.







-in loving memory of my beloved Grandma and Mom-



*YOLO: you only live once
"Kaulah bentuk terindah dari baiknya Tuhan padaku."




-Kata si Virgoun-

16.01.18

Hey ho here she goes 
either a little too high or a little too low
got no self esteem and vertigo
she thinks she's made of candy

Hey ho here she goes
either a little to loud or a little too close
got a hurricane at back of her throat
she thinks she's made of candy

-Candy, Robbie Williams-

Lagu "Candy" Robbie Williams pertama kali rilis di tahun 2012, tapi waktu gw pertama sampe di Jerman pada Januari 2013 lagu itu lagi beken-bekennya dan ada di tangga teratas chart musik. Radio muter lagu ini berkali-kali, sampe gw rada bosen juga karena pengen denger lagu lain juga. Lagu ini menurut gue bukan tipikal lagu Robbie Williams atau Take That banget, iramanya ringan dan girang dan nggak seperti lagunya yang lain (misalnya "Angels") yang maknanya bisa langsung diserap sambil mendengar kata demi kata dalam liriknya, lagu Robbie Williams ini seperti sulit untuk dipahami maknanya. Beberapa fans malah berkomentar sembarangan dengan mengatakan bahwa lagu ini meaningless, yang kemudian dibantah langsung oleh Mr Williams himself. 

Sekalipun gw suka bosen sama radio yang muter lagu ini terus menerus, gw punya lagu ini di hp yang sering gw dengerin dalam perjalanan naik subway. Lagu ini cukup menemani masa-masa galau sebelum keterima studkol apalagi uni. Awalnya gw hanya menebak-nebak lewat liriknya bahwa lagu ini menceritakan tentang seorang perempuan yang super fancy and it seems like she has everything, and she kind of knows it, but also she has a low self esteem at the same time. She sees herself as a candy, but at the same time also as a shit. In his attempt to 'decode' the lyrics (Williams co-wrote this song together with his Take That buddy Gary Barlow) Robbie williams memberi penjelasan yang hampir mirip dengan yang gw pikirkan. He stated: "The song 'Candy' is about a girl named Candice, she's kinda real kinda not. Just an observation on girls I've seen or been around in LA. In fact seen or been around the world" also "It's a summer song, very much in a similar vein to 'Rock DJ', about a girl who thinks she's great. And she might be, but she's a bit nefarious with her ways." 

Dan kemudian gw pun menyadari bahwa gw mendengar lagu ini dengan cara berbeda dari 5 tahun lalu. Kalau dulu gw melihat Candice as any random girl, sekarang gw melihat bahwa I might have been Candice. There are times when I think that I have so much to offer, but at the same time I am not sure if everyone know that I'm that good. Dan juga setiap kali gw mendengar how every words describe her as some kind bipolar-ish, I can't help but think of myself. Lucu, bahwa dalam kurun waktu 5 tahun, orang bisa melihat sebuah lagu dari perspektif berbeda. Dan lucunya juga, gw nggak tahu apa poin dari tulisan ini. Sekian.



BadGo, 16 Jan 2018, 01:26