McD Sarinah dan Budaya Romantisasi Berlebihan

Kemarin saat sedang ngobrol-ngobrol di Zoom dengan teman-teman pelajar di sini, salah satu teman gue tiba-tiba nyeletuk, 'eh, pada tahu McD Sarinah, nggak?' Buat kita yang kebanyakan pernah les bahasa Jerman di Goethe Institut Sam Ratulangi, daerah Sarinah menjadi familiar karena sering dijadikan tempat nongkrong atau sekedar dilewati saat pergi atau pulang kursus. Teman gue bertanya dikarenakan rencana akan ditutupnya gerai McD Sarinah secara permanen, yang merupakan bagian dari proses renovasi besar-besaran gedung Sarinah. McDonald's Sarinah ini sendiri dianggap bersejarah, karena merupakan gerai pertama McD yang dibuka di Indonesia lebih dari 30 tahun lalu. Saat itu waralaba makanan cepat saji baik yang lokal maupun internasional belum bertebaran sebanyak sekarang di Indonesia (walaupun KFC, Texas Chicken dan A&W sudah masuk beberapa tahun sebelumnya).

Mungkin bisa dibilang, awal tahun 90an merupakan titik di mana budaya mengkonsumsi panganan cepat saji makin berkembang di negara kita. Gue inget banget betapa seringnya dulu menghadiri pesta ulang tahun teman masa kanak-kanak entah itu di McD atau di KFC. Buat gue yang nggak pernah rayain ultah di luar rumah, bisa ngerasain ultah dirayain di restoran cepat saji tuh rasanya 'mevvah' banget. Walaupun setelah gue gede baru gue menyadari bahwa alasan paling utama dari orangtua memilih merayakan ultah anaknya di resto cepat saji adalah asas kepraktisan. Bayangin lo ga perlu kehabisan nafas niupin balon, dekor sana dekor sini, masak ini itu (waktu gue ultah 7 tahun malah tetangga sekompleks gue bikinin tumpeng :o) Belom lagi waktu tamu pulang, lo harus beberes dan nyuci piring. Semua itu nggak perlu dipikirkan kalau lo rayain ultah anak di mekdi, KFC atau resto cepat saji lainnya. Semuanya udah tersedia di paket ultah, dan ketika pesta berakhir, lo hanya tinggal pulang ke rumah dengan hati bahagia. Gotta admit that my parent wasn't a cheapskate for always celebrating my (and my sister's) birthdays at home, it's just that they had so many spare time to do all the stuff themselves.

Lewat berita yang banyak bersliweran di timeline sosial media gue, gue found out banyak konsumen yang merasa sangat emosional saat tahu gerai McD Sarinah akan tutup permanen. Unlike me who had the 'so-what?' attitude when I heard the news, banyak orang di luar sana yang (mungkin bahasa lebaynya) merasa 'terpukul' mendengar berita ini. Ini dibuktikan dengan terbentuknya kerumunan ramai di muka restoran tersebut tepat di malam terakhir pengoperasiannya, 10 Mei kemarin. Masyarakat tampaknya tidak mengindahkan anjuran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dari pemerintah sama sekali dan memilih untuk berdesak-desakan di depan restoran yang mau tutup tersebut, sekedar untuk mengabadikan moment dengan cara ber-selfie. Sejujurnya sekalipun kondisi saat ini tidak sedang dalam keadaan darurat pandemi, tindakan semacam ini bagi gue pribadi merupakan tindakan tolol dan nggak masuk akal. Ya mungkin karena gue bukan termasuk orang yang sentimental akan hal-hal seperti itu kali ya. Atau mungkin gue kurang banyak jajan McFlurry di sana waktu jaman nge-Goethe dulu, sehingga gue nggak merasakan perasaan kehilangan yang mendalam amat. Mungkin juga karena gue nggak pernah ngerayain ultah pas kecil di sana juga. Bisa jadi benar, bahwa ribuan orang yang membentuk kerumunan di depan McD Sarinah tiga hari lalu itu punya kenangan yang begitu mendalam dengan tempat tersebut, tapi mestikah mereka melakukan tindakan gegabah dan tidak bertanggung jawab seperti itu hanya dengan mengatasnamakan kenangan? Betapa konyolnya jika aksi kumpul- kumpul kemaren yang mereka anggap innocent itu jadi sarana penyebaran CoVid19 yang cukup masif? Berasa goblok nggak kalau kira- kira dua minggu dari sekarang ada yang tiba- tiba nunjukin simptom? Dan waktu ditanya rekam jejaknya kemaren-kemaren habis ngapain aja, jawabannya 'ngumpul-ngumpul di depan McD Sarinah sama orang asing' Seandainya kejadian ini tidak berlangsung di tengah pandemi corona seperti sekarang ini, mungkin reaksi gue paling banter adalah menertawakan kekonyolan orang-orang yang begitu berlebihan dalam meromantisasi sebuah restoran. Hanya keberadaan sebuah restoran loh ya, nggak lebih. Tapi karena keadaan saat ini sedang berbeda, gue jatohnya bukan geli lagi tapi lebih ke murka. Apalagi gue baca di satu harian surat kabar, ada orang yang rela jauh-jauh dari Bekasi memboyong istri sama anaknya ke sana. Rasanya pengen gue teriakin tuh di depan mukanya, 'Woy ngapain lo di sini???' Gue terkadang bertanya-tanya di dalam hati, 'Am I the only person who takes this whole pandemic-thing seriously?' Gue yakin banyak teman dan saudara gue di Indonesia (khususnya Jakarta) yang juga menanyakan pertanyaan yang sama ke dirinya setiap hari. Makin lama kita merasa seperti teralienasi dari dunia luar. Kita mulai berpikir, 'Ini gue yang normal dan orang di sekeliling gue yang absurd, atau sebaliknya?'


Over-romanticising culture

Berdasarkan Cambridge Dictionary, romantisasi artinya membicarakan suatu hal seakan hal tersebut lebih baik dari aslinya, atau mempercayai bahwa suatu hal itu lebih baik (daripada sebenarnya). Gue merupakan individu yang percaya bahwa nggak ada manusia yang imun dari fenomena ini. In one way or another kita pasti pernah mengalami saat di mana kita meromantisasi suatu keadaan, atau seseorang di masa lalu kita. Ketika sedang meromantisasi sesuatu, maka pikiran kita didominasi oleh hal-hal yang baik dan positif tentang hal tersebut. Kita cenderung mengabaikan 'flaws' atau kekurangan yang ada, karena fokus kita adalah menciptakan ilusi yang membuat hal tersebut terlihat sempurna. Sebagai contoh: beberapa bulan pertama gue tinggal di Jerman, gue begitu rindu dengan suasana hiruk pikuk kota Jakarta yang membuat gue akhirnya terjerumus dalam romantisasi. Gue menyadari di satu titik bahwa gue mulai berlebihan dalam memproyeksikan Jakarta, yang sebenernya nggak sesuai dengan gambar Jakarta pada kenyataannya. Gue lupa rasanya muak karena menghirup udara polusi, dan lupa dengan ketidakteraturan dan kemacetan di jalanan. Gue cuma ingat bahwa Jakarta merupakan tempat di mana orang-orang yang gue kasihi berada.
Meromantisasi suatu hal juga bisa dilakukan secara kolektif, contohnya ya kasus kumpul- kumpul di depan McD Sarinah tadi. Salah satu contoh lain adalah romantisme orde baru dan kepemimpinan Soeharto. Banyak orang meng-klaim merindukan masa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto, karena dianggap stabil secara sosio ekonomi. Fenomena romantisme sebagian masyarakat ini yang kemudian dimanfaatkan beberapa politisi untuk meraup suara dalam pemilihan umum. Propaganda tentang jaman keemasan Soeharto yang mungkin merupakan omong kosong di telinga sebagian orang, nyatanya cukup meyakinkan
sebagian masyarakat lainnya. Ini merupakan salah satu bentuk bahaya dari romantisasi berlebihan, yaitu hilangnya kemampuan untuk mengambil keputusan berdasarkan logika dan fakta. Ini juga yang membuat gue menyayangkan keputusan orang-orang untuk berkerumun di depan McD Sarinah tempo hari. Menurut gue, kenangan sebaik apapun tentang sebuah restoran nggak sebanding nilainya dengan keselamatan dan nyawa manusia. Dengan mengabaikan aturan PSBB, gue jadi berasumsi bahwa orang-orang ini tidak perduli sama nyawanya sendiri, let alone sesamanya. Seandainya lebih banyak orang yang bisa berpikir secara rasional (dan juga didukung dengan aparat yang mampu bertindak tegas), kejadian seperti kemarin mungkin bisa dihindari.
romanticize verb ( T )
/roʊˈmæn·təˌsɑɪz/
to talk about something that makes it sound better than it really is, or to believe that something is better than it really is

No comments