Hari ini kembali aku cek hasil ujianku di website universitas. Sejujurnya sedari kemarin aku sudah mempersiapkan diriku untuk meghadapi segala yang terburuk, dan meninggalkan semua ekspektasi-ekspektasi utopisch yang kumiliki selama ini. Aku mengaku pasrah, tapi aku nggak memperhitungkan sama sekali bahwa hasilnya sudah keluar hari ini.
Berbeda dari hari-hari sebelumnya, di sebelah nama mata kuliah ada tertulis informasi baru; "endgültig nicht bestanden." Aku coba melihat kembali dengan jelas, namun tulisan di layar komputerku tidak berubah. Aku yang saat itu sedang menerima telepon dari seorang sahabat tidak lagi mendengar apa yang dia ucapkan. Dengan dalih ingin bersiap-siap berangkat ke kerjaan, aku sudahi pembicaraan kami di telepon.
Aku tertegun kembali membaca tulisan di layar laptopku. Setelah beberapa menit memproses semuanya, tanganku mengambil handphone dan segera menelpon Standy lewat WhatsApp.
"Nggak lulus," ucapku singkat dengan suara terpelan yang pernah aku gunakan saat berbicara dengannya. Tanpa jeda untuk menghela nafas dia menjawab, "ya sudah, mulai hari ini kita fokus mikirin rencana ke depannya ya." Aku mengiyakan. Dia bicara lagi tentang makan, apakah aku mau makan di luar dan ngobrol, apa aku sudah makan. Aku sudah nggak betul-betul dengerin lagi. Sambungan telepon terputus setelah sepakat untuk bertemu nanti, sehabis aku bekerja.
Kemudian teringat olehku ucapan Standy tempo hari. Soal aku yang harus berterus terang tentang kondisi perkuliahanku kepada keluargaku. "Minimal Bapak dan Maria, mereka itu orang terdekatmu." Aku tahu dia benar, tapi aku sama sekali nggak punya nyali bercerita tentang kegagalan. Cerita kegagalan bagiku bukan suatu hal yang bisa dengan gamblang dibagikan di depan orang lain, sekalipun orang terdekatku sendiri. Namun aku merasa, saat ini adalah waktu yang tepat. Dengan HP masih di tanganku, aku mencoba menghubungi Maria. Setelah beberapa kali dering, teleponku diangkatnya. Terdengar suara bising di seberang sana.
"Hallo, kenapa?" tanyanya dengan kecuekan seperti biasa. Walau sering kesal, aku nggak bisa nyalahin dia 100 persen. Memang akulah yang sering menelpon dia untuk sekedar menggoda atau bicara hal remeh temeh lainnya. Tapi hari ini berbeda.
"Aku nggak lulus ujian."
"Heh?" ucapnya. Kali ini dengan sedikit perhatian.
"Ya, nggak lulus. Percobaan ketiga. Terancam DO."
Aku mendengar suara terperanjat di ujung sana. Adikku bicara, "Kak, serius? Kaaaak..."
Aku dengar dia permisi untuk meninggalkan ruangan. Sesaat tidak kedengaran suara apapun di bagian sana. Rasanya kayak lama sekali. Kemudian aku kembali mendengar suaranya. Ya ampun kak. kok bisa kak, terus kakak sekarang mau gimana. Aku bingung menjawab satu persatu pertanyaannya. Aku berharap timbul pernyataan di antara pertanyaan-pertanyaan itu, sehingga aku tidak perlu menjawab. Namun satu hal di luar dugaanku, tidak ada sekalipun muncul kalimat yang menyalahkanku. Rasa masih nggak percaya, penasaran, terkejut, hanya itu yang terlontar darinya. Sempat dia malah menyesali kenyataan bahwa dia tidak cukup aware dengan permasalahan yang kakaknya hadapi di sini. Di satu sisi ada rasa sedikit lega dalam diriku, yang beberapa hari ini sudah terbiasa dengan "accusation" yang sebenernya mostly datang dari diriku sendiri. Tapi dadaku diliputi rasa haru ketika mendengar dia begitu mencoba memberikan suntikan kekuatan kepadaku lewat kata-katanya yang mencoba support aku untuk mau bangkit lagi. Aku ingat dia berkata bahwa mulai sekarang apapun keputusan yang aku buat harus memang karena itu dari diriku sendiri, bukan karena untuk menyenangkan bapak, dia, keluarga, tetangga, kakek nenek moyang. Bukan hanya untuk memuaskan rasa gengsiku saja. Bukan karena dorongan kekhawatiranku akan hari esok; mau jadi apa aku kelak. Dia bahkan mengatakan bahwa dia menyayangiku sekalipun nanti aku nggak jadi apa-apa. Mungkin ketika mendengar kalimat yang terakhir barusan, the classic Asrida bakal ngamuk-ngamuk dan bilang, "maksud lu? Jadi lu yakin suatu saat gw bakal ga jadi apa-apa dan lu bakal jadi lebih tinggi dari gw?" Tapi saat aku denger ucapannya, air mataku jatuh luruh karena aku menyadari, bahwa dia bicara itu bukan karena berpikir bahwa masa depanku akan berakhir suram, tapi malah sebagai bagian dari support system dia yang menyatakan bahwa apapun langkah yang nanti aku ambil dari sini, dia akan mendukung aku selalu.
Saat itulah aku menyadari betapa bodohnya aku kalau berpikir aku sendirian dalam menghadapi semua ini. Aku memiliki support system yang lebih dari cukup dalam menghadapi dunia dan tantangan-tantangannya. Aku punya adik satu-satunya yang mendukung aku dan tetap percaya kalau aku bisa. Aku punya keluarga yang sekalipun mungkin nggak aware sama permasalahanku, namun tetap membawaku dalam doa-doa mereka. Aku punya pacar yang walaupun galak tapi mengharapkan aku memiliki masa depan yang terbaik. Aku punya teman yang bisa diajak tukar pikiran dan turut mendoakan aku. Dan di atas itu semua, aku punya Tuhan yang begitu besar, yang menyediakan rancangan terbaiknya yang spesial untukku. Maka dari itu aku ingin mulai bangkit mulai dari sekarang untuk menata kehidupanku, dengan bantuan my super support system.