Opini

Disclaimer: tulisan gue kali ini mungkin tidak mewakili opini orang banyak, dan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menggiring opini orang untuk sama seperti gue. Jika memang ada, intensi dari tulisan ini hanyalah sekedar berbagi kisah tentang satu hal dari sudut pandang seorang Asrida. Feel free to agree or disagree :)




Hari minggu kemaren tepatnya tanggal 7 Juli 2019, ada satu parhelatan akbar digelar di Cologne, namanya Christopher Street Day atau biasa disingkat CSD. Hari itu, ratusan atau mungkin ribuan manusia yang masuk ke dalam golongan LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and Queer) turun ke jalan untuk berparade, dan juga disertai demonstrasi. Bukan hanya mereka, banyak aktivis - aktivis pendukung hak - hak kaum LBGTQ juga turut serta di sana. Sore itu, kereta gue pulang dari Bonn menuju Duisburg sesak penuh dengan para peserta parade, berhubung Cologne adalah salah satu kota yang dilewati. Karena kereta penuh, gue terpaksa harus berdiri di gerbong khusus sepeda. 

Berhubung perjalanan lumayan jauh, gue seperti biasa melakukan observasi terhadap keadaan tiap penumpang di kereta. Seperti tadi gue bilang, penumpang kereta terutama di gerbong gue didominasi sama peserta parade CSD, walaupun ada sebagian juga penumpang biasa kayak gue yang kebetulan bepergian di hari minggu itu. Gue lihat ekspresi lelah tapi bahagia menghiasi wajah mereka. Kebanyakan dari mereka adalah kaum muda, gue taksir berusia sekitar 30 tahunan ke bawah, walaupun ada satu pria yang mencuri perhatian gue karena terlihat paling “senior” dibandingkan yang lainnya.

Waktu mata gue berpindah ke tempat lain (tentunya observasi ini gue lakukan dengan tidak terang - terangan seperti misalnya memelototi satu persatu penumpang di kereta, karena gue tahu itu tidak sopan), gue melihat sepasang gadis muda mungkin berusia akhir belasan tahun sedang bercengkrama dan bermanja - manjaan dengan satu sama lain. To my surprise, seeing this doesn’t bother me as bad as it might do when I was still younger. Gue melihat ke arah mereka sepersekian detik, sebelum gue akhirnya memalingkan wajah ke arah jendela. Gue di situ mikir, “Apa ini artinya gue sudah menerima fenomena pasangan sesama jenis sebagai bagian dan hal yang lumrah dalam kehidupan?” For a moment, I kind of blamed holywood since it’s by them that I’ve been exposed with LBGT culture through movies and series, which now makes me 'immune' from seeing two girls kissing. Don’t get me wrong, gue bukan tipe orang yang kenceng - kenceng bilang “amit amit” atau bahkan ngelepeh saat menyaksikan adegan semacam itu (and yes, I know a story about an indonesian girl who spitted on the ground right after witnessing two guys kissing in a Paris metro, right in front of the guys, and the rest of the story was quite ugly for the girl) tapi sejujurnya, di dalam diri gue ada sesuatu ketidaknyamanan ketika melihat sepasang insan berjenis kelamin sama bercumbu. Buat gue, itu simply nggak natural aja. Ini terlepas dari apa yang diajarkan dan dipercayai oleh agama gue, because right now I’m not talking about my religious believe, I’m talking about my immediate, basic feeling when it comes to react about something. Tapi kemaren gue menyadari, diri gue tidak terusik dengan pemandangan tersebut, separah yang biasanya gue pikir. Rasa nggak nyamannya hampir sama saja saat gue lihat pasangan heteroseksual ber-PDA (Public Display of Affection atau mempertontonkan kemesraan di muka umum). Memang, I’m not a fan of PDA. 

Tapi satu hal yang gue seketika sadari saat itu adalah, kalau lo memang merasa nggak nyaman atau nggak suka lihat sesuatu, lo bisa tinggal buang muka dan berhenti melihat hal tersebut. Nggak ada orang yang memaksa lo untuk lihat sesuatu, kalau memang lo nggak mau. Hal ini berlaku juga sama tayangan di televisi yang misalnya menurut lo nggak bermutu. Nggak ada yang maksa lo nonton acara itu, lo bisa ganti channel. Atau lo bisa matiin TV, dan baca buku misalnya, atau jalan - jalan ke taman. Terkadang kita sibuk memperdebatkan sesuatu, menggerutu tentang dan mengutuki sesuatu padahal kita bisa mengambil langkah untuk menghindari hal tersebut. Soal pelaku LBGT, banyak teman - teman seagama gue bilang, kalau kita sebagai umat beragama yang tahu 'hal yang lebih baik' punya beban moral dan berkewajiban untuk mengajak saudara - saudara yang jalannya “melenceng” itu untuk kembali ke jalur yang benar.  Atau setidaknya mendoakanlah. Gue pikir, kalau memang kewajiban gue adalah mendoakan tiap - tiap masalah di dunia ini, biarlah gue minta kemampuan terlebih dahulu dari Tuhan untuk melakukan itu. Tapi sebelumnya, gue juga mau diperlengkapi dengan hati yang tidak gampang menghakimi orang lain.

Di tengah stasiun Düsseldorf dan Düsseldorf Airport, kereta ngerem mendadak. Gue yang berdiri dengan sendal hak tinggi yang heboh hampir aja jatuh ke sisi kanan. Di sebelah kanan gue, seorang pria homoseksual berkulit cokelat kinclong bersikap siap mau menangkap gue kalau - kalau gue jatuh ke arahnya. Gue tersenyum, tanda terima kasih gue. Senyum gue akan tetap sama sekiranya dia itu hetero, bi, anak kecil, orang muda, kakek - kakek, nenek - nenek, asia, kulit gelap. Apapun itu, tindakan baik layak mendapatkan balasan yang baik pula. Gue tahu beberapa orang dari kaum LBGTQ yang kelakuannya norak dan nggak jelas, tapi yang hetero juga lebih banyak. Okelah ini dikarenakan populasi orang ber-orientasi seksual hetero lebih banyak dibandingkan yang homo atau bi-, namun poinnya adalah, kita nggak bisa menjadikan orientasi seksual seseorang sebagai tolak ukur untuk menilai kepribadiannya dan juga sebagai penentu bagaimana kita harus bersikap terhadapnya. Dan kita nggak perlu jadi aktivis pejuang hak LGBTQ untuk bersikap baik dan respectful terhadap mereka. Kita bahkan nggak perlu setuju sama lifestyle mereka (gue yakin ada orang yang pro-lgbt di luar sana yang mikir gue bigot karena gue nggak nyaman lihat cewek sama cewek ciuman.) Kita hanya perlu menjadi manusia. Menjadi manusia itu apa sih? Menurut gue simpelnya jadi manusia itu, perlakukanlah orang lain sebagaimana lu mau diperlakukan. Lo nggak mau disentil? Jangan sentil orang lain duluan. Lo lagi susah mau ditolong? Mulailah dengan menolong orang lain duluan. Boleh fokus sama hubungan vertikal dengan Tuhan, tapi jangan abaikan hubungan horizontal dengan sesama, sekalipun terkadang paham kita dengan sesama suka bentrok.