Saat ini ribuan mahasiswa di beberapa kota di Indonesia berjuang turun ke jalan untuk menentang disahkannya undang-undang yang disinyalir bukannya menertibkan tatanan hidup masyarakat namun malah merugikan. Dari ribuan mahasiswa itu ada adik gue turut di dalamnya, bersama teman-teman mahasiswa dan 5 orang dosennya. Gue yang cuma bisa menyaksikan lewat berita hanya bisa berharap semoga demonstrasi yang mereka lakukan berjalan damai, tepat sasaran dan efektif. Adik gue dengan darah muda yang menggebu-gebu tentunya membuat orang tua dan keluarga besar gue agak khawatir. Mungkin karena demo yang dilihat keluarga gue di Jakarta yang jadi cenderung anarkis, mereka punya konsepsi yang berbeda mengenai demo yang sekarang terjadi, dengan apa yang sebenarnya menjadi tujuan para mahasiswa. Tapi sejujurnya, sekarangpun gue suka susah membedakan mana benar mana salah. Kadang saat kita pikir si A orang benar, eh nggak tahunya dia cuma orang yang lagi cari panggung di stasiun TV. Media jadi sarana distorsi kebenaran. Sepertinya memang benar waktu ada seseorang pernah bilang ke gue, bahwa gue nggak cocok masuk ke politik. Terlalu buas. Gue hanya berharap, adik gue yang politis itu bisa cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati, kayak kata alkitab. Kayaknya itu cocok jadi slogan buat politisi bersih.
Di sini gue juga berjuang dengan cara gue. Perjuangan gue memang sekarang belum terlihat berguna buat kemaslahatan umat banyak, let alone keluarga gue sendiri. Saat ini gue punya perjuangan pribadi: menyelesaikan studi gue. Gue berjuang buat melawan rasa puas yang primatur dan berjuang untuk tetap mawas diri. Dan yang paling susah dari itu semua, gue berjuang buat keluar dan pergi jauh-jauh dari comfort zone yang meninabobokan gue selama enam tahun belakangan ini. Semangat juang ini yang gue mau tularkan ke orang-orang terdekat gue, termasuk adik sepupu gue yang kemaren harus pulang ke Indonesia setelah tiba di Düsseldorf, karena bermasalah dengan visanya. Om gue yang gue pikir bakal jera mengirim anaknya ke sini, malah ternyata menganggap ini sebagai obstacle yang perlu ditaklukkan. “What doesn’t kill you makes you stronger!” is what he wrote to me over WhatsApp. Gue ingat obrolan gue dengan beliau tahun 2017 sambil lunch di Pacific Place “Asri, uda kepingin Kiky bisa belajar berjuang seperti kamu.” Om gue sadar, lahir di dalam keluarga tidak berkekurangan bisa jadi pedang bermata dua buat putra tunggalnya. Di satu sisi ada berkat di sana, tapi ada bahaya juga yang mengintai: kita bisa terlena dengan privilege yang kita dapat dari orangtua, sehingga membuat kita enggan susah. Enggan capek. Enggan berjuang. Gue bersyukur, Bapak bukan orang yang punya banyak uang. Gue sudah berkali-kali merasakan susah secara finansial. Tapi walau gitu, gue nggak menampik kadang guepun suka nggak tahu diri dan terlena dengan keadaan. Pernah ada masa di mana daya juang gue nol besar. Gue malu kalau ingat itu, dan lebih malu lagi waktu ingat perkataan om gue, dan banyak orang di luar sana yang memuji gue sebagai pejuang. Tapi hari-hari itu udah berlalu, sekarang gue fokus menatap ke depan sambil mengumpulkan sisa-sisa semangat muda gue yang masih ada. Ada banyak hal yang perlu gue perjuangkan, dari bagian terkecil sampai yang makro. Gue ingin negara gue maju, tapi sebelum itu gue mau keluarga gue punya mindset yang bener dulu. Gimana gue bisa mempengaruhi keluarga gue untuk ke arah yang positif? Dengan membenahi diri gue. Jadi in conclusion, semuanya itu kembali ke diri.
Selamat berjuang!