Corona: Sebuah Catatan Singkat

Hallo, blog.

Sejujurnya gue sedang tidak bernafsu untuk nulis tentang apapun. Ketidakbernafsuan ini akan tercermin jelas dalam produksi tulisan yang berantakan berikut ini. Tulisan ini adalah bentuk keresahan yang berkecamuk dalam diri gue di dua minggu terakhir ini. I promise I will make it as briefly as possible, as told by the title.

Sejak awal mula outbreak CoVID-19, state of mind gue udah berubah-ubah mulai dari denial, sok cool, mendadak panik, mencoba menerima keadaan, hingga akhirnya benar-benar pasrah dan berserah. Di awal gue bahkan mencoba untuk tidak mencari tahu tentang keadaan apapun yang terjadi di tempat gue tinggal, ataupun di belahan lain dunia, yang berkaitan dengan virus corona. Gue pikir, out of sight, out of mind, right? Gue mencoba yakinkan diri bahwa ini semua akan segera mereda, dan hidup akan berjalan kembali dengan normal.

First outbreak in Wuhan was at the end of 2019, and we are almost at the end of the first quarter of 2020. The curve has not flattened, yet.

No one can really tell how and when this is gonna end. Di tengah segala ketidakpastian ini gue sempat memanjatkan doa yang begitu egois: gue pengen diri gue dan keluarga, temen serta orang-orang lain yang gue kasihi diluputkan dari bahaya si virus ini. Gue pikir, instead of kita, kenapa nggak orang-orang jahat aja yang kena, ya Tuhan? Kayak Harvey Weinstein si sexual predator itu, yang kabarnya positive corona di dalam penjara. It makes more sense, right? Isn't Your wrath revealed against ungodliness and unrighteousness of men?

Sampe kemudian akhirnya tadi gue baca thread di twitter adek gue, yang cerita bahwa mama dari teman baiknya jadi salah satu korban yang akhirnya meninggal dunia karena corona virus. Almarhumah adalah seorang dokter; direktur dari salah satu RS di Bandung. Dari cerita adek gue, beliau merupakan orang yang sangat baik dan berjiwa sosial. Waktu baca itu gue seketika tersadar, siapalah gue merasa berhak berdoa kayak tadi? Dari segitu banyaknya korban yang sudah berjatuhan, tidak sedikit di antaranya merupakan jiwa-jiwa selfless yang di saat akhir hidupnya, sekalipun dengan kesadaran penuh bahwa nyawa mereka sudah di ujung tanduk, tetap bertaruh mencoba menyelamatkan jiwa dari para pasien mereka. Sedangkan gue dengan pongahnya merasa kayak pahlawan cuma karena gue masih kerja di supermarket sampe sekarang. I am so embarrassed when I remember how I was getting a big head every time people thanked me for my service, as if they owed me big time, when in reality, the only reason I'm still going to work is the paycheck. How could I ever think that my life is much worthier than those doctors'?

Having that thought doesn't make me feel any better. It doesn't lessen my worry, at all. Gue takut menghadapi hari esok, karena gue nggak tahu apakah besok masih ada. Memang kata alkitab, kekhawatiran nggak akan menambah sehasta pada jalan hidupmu; tapi pada kenyataannya, kekhawatiran akan tetap ada selama manusia masih bernafas. Mungkin buat sebagian orang, statement gue menunjukkan kurangnya iman. Mungkin mereka benar. Iman gue mungkin belum begitu mumpuni, sehingga gue menjadi sangat marah ketika mendengar masih ada orang yang berpikiran untuk mengadakan birthday party di tengah situasi yang begitu genting ini. Atau ketika masih ada orang yang 'nakal' dan mengabaikan anjuran pemerintah untuk melakukan physical distancing. Kalau perduli kesehatan diri sendiri dan orang lain dianggap nggak beriman, biarlah gue dicap nggak beriman sekalian.

Terakhir, ada satu hal yang gue petik dari semua kejadian ini. Selain yang tadi soal gue berdoanya masih suka egois, gue juga terlalu fixated sama masa depan dan masa lalu. Sejak kecil gue udah membiasakan diri merancang masa depan supaya begini dan begitu. Faktanya, banyak rancangan gue yang nggak kejadian. Acapkali apa yang gue inginkan nggak sama dengan apa yang gue butuhkan. Dan gue suka tertawa kalau ingat betapa gue pernah menginginkan sesuatu 5 tahun yang lalu, yang saat ini gue tahu hal tersebut sama sekali nggak baik buat diri gue. Juga soal masa lalu. Seringkali gue berkutat dengan segala macam "What Ifs" yang membuat gue lupa untuk menikmati momen di detik ini. Gue mencoba mengubah sesuatu yang sudah tidak bisa diubah, atau yang memang semestinya tidak berubah. Dunia pada saat ini menyadarkan gue satu hal: I live neither in the future nor in the past, and I can't spend the time I have being fixated on them. Nggak ada garansi gue besok masih bangun. Nggak ada garansi juga akan ada tulisan berikutnya dari gue di blog ini. Yang bisa gue lakuin saat ini adalah memanjatkan syukur di tiap hela nafas, dan berharap, dunia di esok hari akan lebih indah, bukan cuma buat gue, tapi buat semua makhluk.





Duisburg, 270320