Well buat gue ini topik menarik.
Di kalangan anak muda Indonesia jaman sekarang, kita pasti pernah denger istilah "Ayah-Bunda", "Mama-Papa", "Abi-Umi" dan sebangsanya, dipakai oleh pasangan muda yang sedang berkasih-kasihan (baca: pacaran), untuk menjadi panggilan sayang terhadap satu sama lain. Jujur gue risih sama yang kayak gini, dan beberapa hari yang lalu, gue mendapati bahwa gue bukan satu-satunya manusia di bumi ini yang risih sama trend panggilan sayang yang satu ini.
Semua bermula dari adegan pendek di sebuah film Indonesia yang baru-baru ini gue tonton. Sebagai anak Indo yang lagi terdampar di negeri Tante Angela Merkel, gue suka mengobati kekangenan gue terhadap tanah air dengan menonton film Indonesia yang (menurut gue cukup) berkualitas. Film ini ber-genre komedi romantis, di mana sang pemeran utama berperan sebagai stand up comedian (tau kan stand up comedian?) yang lagi bercerita soal kisah cintanya yang rada-rada mengenaskan. Di antara penonton yang hadir (setting lokasi: restoran), ada sepasang kekasih muda (kelas 10 SMA) yang sedang bermesraan dan sesekali menimpali si stand up comedian tadi.
Sekarang gue sampe ke bagian (yang menurut gue) menarik dalam film tersebut. Si stand up comedian, sebut saja SUC (gue nggak ada ide dalam bikin inisial nama orang :D) bertanya kepada pasangan muda yang berbahagia tadi;
SUC: "Lo panggilan sayangnya berdua "Ayah-Bunda"?"
Si Cewek: "Iy4h, 3mank ken4pah?" (Gue tergoda untuk menggambarkan si cewek ini se-alay mungkin -.-)
SUC: "Itu panggilan buat orang yang lo sayang kan? Kok palsu?"
Nah sampai di situ. Waktu nonton adegan tersebut, gue ngerasa se-paham sama stand up comedian dalam film tadi. Bukan bermaksud sinis sama ABG (anak baru gede) yang pacaran, tapi sampai detik ini gue masih nggak ngerti logika apa yang ada dalam pikiran orang yang pertama punya ide menciptakan trend panggilan sayang tersebut. Maksud gue, kenapa bisa panggilan yang biasa digunakan orang yang udah berrumah tangga, dipakai dalam konteks berpacaran.
Berdasarkan penelitian kecil-kecilan yang gue buat, kebanyakan ide memanggil "Ayah-Bunda" dan sebagainya tersebut tercetus dari pihak si cewek (perempuan). Some girls think it's cute to call their boy "Ayah" instead of his name or any other nicknames. Gue bisa mengerti bahwa cewek cenderung lebih memakai perasaannya ketika sedang dalam hubungan, ketimbang sang cowok. Saat kita berbunga-bunga dan merasa pilihan hati kita itulah yang terbaik dan segalanya di muka bumi ini, kita
suka lupa sama beberapa hal. Dalam kasus panggil memanggil "Ayah-Bunda" ini, si cewek lupa, bahwa pasangan yang dia punya itu adalah PACARNYA dan bukan SUAMINYA.
Jadi kenapa kita harus stop untuk pakai istilah "Ayah-Bunda" dan sebangsanya selama kita masih berpacaran?
Pertama seperti yang tercetus dalam dialog pendek dari film tadi. Untuk kasih panggilan ke orang yang lo sayang, harusnya lo nggak ngasih sesuatu yang "palsu". Segimanapun juga cintanya kita ke pacar dan sejauh apapun imajinasi kita melayang-layang tentang rencana masa depan kita bersama si dia, kita masih belum terikat dalam pernikahan. Panggilan yang selayaknya digunakan dalam konteks pasangan yang sudah menikah (dan memiliki anak) tentu aja nggak cocok untuk dipakai dalam konteks berpacaran. Dalam hal ini: PALSU.
Dengan pacar gue terakhir (sekarang sudah jadi mantan) gue punya panggilan sayang yang menurut
gue cukup lucu. Pertama, kita memanggil nama masing-masing tapi bukan dengan nama panggilan yang biasa dipakai sama teman yang lain. Kebetulan gue punya 3 nama panjang plus 1 marga, dan dia punya 4 nama panjang plus 1 fam (marga dalam suku Manado). Jadi, dia manggil gue dengan nama yang nggak pernah dipakai orang lain buat memanggil gue, dan guepun sebaliknya begitu ke dia. Spesial, tapi nggak bikin kita jadi orang lain juga, karena nama yang kita pakai itu emang ada dalam nama panjang kita.
Kedua kita pakai sesuatu yang berbau "fisik". Bukan dalam konteks mengejek dan mencela, gue suka panggil dia "buncit" dan dia panggil gue "tembem". Dan itupun simply karena dia (sedikit) buncit, dan gue (sangat) tembem. Jadi, nggak ada kepalsuan kan?
Alasan kedua kenapa kita harus stop pakai panggilan "Ayah-Bunda" dalam berpacaran, adalah karena kita nggak tau pasti dengan siapa kita bakal berjodoh kelak.
Sebagai orang yang percaya sama Tuhan, kita juga percaya dong bahwa jodoh itu di tangan Tuhan? Dengan kepercayaan tersebut, artinya kita kan meletakkan sepenuhnya masa depan kita di tangan Tuhan, termasuk masa depan kita sama pacar yang kita sayang tadi. Kalo Tuhan berkehendak beda sama rencana lo, dan kalian harus nemu jodoh masing-masing di tempat lain, isn't that awkward when you both meet once somewhere and remember that you used to call each other "Ayah-Bunda", sedangkan si dia sekarang udah jadi "Ayah"-nya yang lain atau "Bunda"-nya yang lain?
So guys, before you marry, the only woman whom you have to call "Bunda" is your own Mother, and girls, the only "Ayah" you have in this world before you marry someone is your Father.
Cewek harus lebih bijak dalam ngasih panggilan sayang ke pacarnya, dan cowok harus lebih tegas dalam menolak kalau pacarnya keliru dalam mengekspresikan kasih sayang. Karena walau bagaimanapun, nobody's perfect, kan?
Sekian dulu soal tema "Ayah-Bunda", semoga memberi pencerahan buat yang membaca, terutama pasangan muda yang sedang berkasih-kasihan. Liebe Grüße aus Hamburg *mwah ;)
Why I Should Make a New Blog
Saturday, 25 January 2014
Ini bukan blog pertama gue. Pertama buat blog, waktu gue masih SMA kelas 2, dan alasan bikin blognya itu cuma buat ikut-ikutan sama teman. Karena cuma itulah alasan yang bisa terpikir waktu itu, jadilah gue "mengisi" blog tersebut dengan malas-malasan. Kesibukan sekolah juga bikin makin nggak punya waktu buat ngurus hal "remeh temeh" bernama blog.
Pada dasarnya gue suka nulis. Nulis itu salah satu hobi gue, di samping makan dan ngomong. Dari kecil udah suka nulis; di tembok rumah, dan sampe akhirnya bokap beliin gue buku tulis banyak banget. Waktu temen-temen di TK masih asyik main ayunan, gue udah (sok) asyik nulis.
Yang gue tulis macem-macem. Mungkin waktu TK gue masih menulis dengan tulisan yang nggak bisa dibaca sama kaum manusia; tapi semenjak menginjak kelas empat SD, gue mulai menulis sesuatu yang bisa diterima akal sama orang di sekeliling gue.
Kenapa gue suka nulis?
Pertama, karena gue hobi ngomong. Selalu punya hal atau topik di dalam kepala lo tanpa membagikannya ke orang lain, rasanya nggak enak banget buat gue. Entah kenapa, kepala ini selalu punya sesuatu yang baru setiap harinya, yang bikin gue pengen cepat-cepat ngebagiin itu ke orang lain. Itulah kenapa gue suka ngomong; dan itu juga kenapa gue benci peribahasa "Tong kosong nyaring bunyinya" waktu SD. Soalnya gue nyaring -.-
Tapi terkadang, gue menemukan kendala dalam berbicara. Karena suka nggak bisa mengatur kapan harus mengambil napas waktu lagi ngomong (baca: kalo ngomong gue suka lupa bernapas), gue suka kecapekan waktu ngomong. Dan itu nggak enak banget. Karena itu, gue mencoba cara lain untuk berbagi informasi tanpa harus kehabisan nafas, yaitu menulis.
Kedua, waktu masih kecil gue tinggal bareng Nenek (baca: Opung Boru) gue yang strict abis. Nyokap meninggal waktu gue umur tujuh, makanya gue, adik, sama bokap tinggal bareng Nenek.
Beliau ini orangnya strict banget (udah gue bilang kan?), dan didikannya itu sistem Belanda abis.
Nah, entah sistem Belanda bagian mana yang diadopsi beliau, yang jelas bokap dilarang untuk beliin TV buat kita di rumah. Alhasil, gue dan adik menghabiskan sebagian besar masa kecil kita tanpa televisi.
Dengan nggak adanya TV, kita dituntut buat lebih kreatif lagi dalam mencari hiburan, dan tentunya informasi. Informasi itu akhirnya kita dapat dengan membaca. Ke manapun kita pergi, buku selalu ada di tangan. Selain itu, kita juga langganan majalah anak-anak yang selalu punya artikel bermanfaat buat kita baca.
Adik gue itu seniman abis. Dia 3 tahun lebih muda dari gue, dan jago banget menggambar/ melukis. Jadi, dia menghabiskan banyak waktu luang di rumah juga dengan menggambar sketsa-sketsa cewek berkaki panjang dan baju berjumbai-jumbai. Sedangkan gue kebalikannya. Orang nggak bakal bisa ngebedain mana gambar kuda dan mana gambar kucing, kalo gue yang gambar. Karena nggak bakat gambar itulah, gue lebih suka nulis. Gue suka nulis cerita pendek, atau imajinasi gue tentang orang atau hal yang ada di sekeliling gue, gitu.
Kenapa gue memutuskan untuk menulis blog (lagi)?
Itu karena beberapa hari belakangan ini, suka ada ide-ide yang terlintas gitu aja di pikiran gue. Beberapa hari libur (sebenernya lagi nunggu waktu buat ujian Studienkolleg) bikin gue ngerasa kurang produktif. Gue suka tidur larut malam dan bangun siang, tanpa ada sesuatu yang berguna yang gue lakuin pada waktu bangun. Itu bikin perasaan bersalah muncul di permukaan; bukan perasaan bersalah sama orang lain, tapi lebih ke perasaan bersalah sama diri sendiri. Ngerasa bertanggung jawab sama diri sendiri, untuk bikin hidup jadi lebih berkualitas.
Gue nggak bilang kalo kita harus ngelakuin hal-hal keren supaya hidup jadi berkualitas. Tapi menurut pandangan gue, hidup itu akan jadi lebih berarti dan berkualitas, kalo kita bisa berbagi sama orang lain. Kita bisa belajar bersama orang lain, dan membagikan pengetahuan kita ke orang yang mungkin belum tahu. Rasanya jauh lebih berarti jika ada 1 orang aja yang membaca tulisan lo dan menjadi "mengerti", ketimbang nggak ngelakuin apapun dalam menjalani hari-hari lo. Itulah alasan gue mau
nulis dan publish tulisan gue lagi di sebuah blog; "Berbagi". Semoga setan malas tidak datang kembali menghantui. Semoga...
Pada dasarnya gue suka nulis. Nulis itu salah satu hobi gue, di samping makan dan ngomong. Dari kecil udah suka nulis; di tembok rumah, dan sampe akhirnya bokap beliin gue buku tulis banyak banget. Waktu temen-temen di TK masih asyik main ayunan, gue udah (sok) asyik nulis.
Yang gue tulis macem-macem. Mungkin waktu TK gue masih menulis dengan tulisan yang nggak bisa dibaca sama kaum manusia; tapi semenjak menginjak kelas empat SD, gue mulai menulis sesuatu yang bisa diterima akal sama orang di sekeliling gue.
Kenapa gue suka nulis?
Pertama, karena gue hobi ngomong. Selalu punya hal atau topik di dalam kepala lo tanpa membagikannya ke orang lain, rasanya nggak enak banget buat gue. Entah kenapa, kepala ini selalu punya sesuatu yang baru setiap harinya, yang bikin gue pengen cepat-cepat ngebagiin itu ke orang lain. Itulah kenapa gue suka ngomong; dan itu juga kenapa gue benci peribahasa "Tong kosong nyaring bunyinya" waktu SD. Soalnya gue nyaring -.-
Tapi terkadang, gue menemukan kendala dalam berbicara. Karena suka nggak bisa mengatur kapan harus mengambil napas waktu lagi ngomong (baca: kalo ngomong gue suka lupa bernapas), gue suka kecapekan waktu ngomong. Dan itu nggak enak banget. Karena itu, gue mencoba cara lain untuk berbagi informasi tanpa harus kehabisan nafas, yaitu menulis.
Kedua, waktu masih kecil gue tinggal bareng Nenek (baca: Opung Boru) gue yang strict abis. Nyokap meninggal waktu gue umur tujuh, makanya gue, adik, sama bokap tinggal bareng Nenek.
Beliau ini orangnya strict banget (udah gue bilang kan?), dan didikannya itu sistem Belanda abis.
Nah, entah sistem Belanda bagian mana yang diadopsi beliau, yang jelas bokap dilarang untuk beliin TV buat kita di rumah. Alhasil, gue dan adik menghabiskan sebagian besar masa kecil kita tanpa televisi.
Dengan nggak adanya TV, kita dituntut buat lebih kreatif lagi dalam mencari hiburan, dan tentunya informasi. Informasi itu akhirnya kita dapat dengan membaca. Ke manapun kita pergi, buku selalu ada di tangan. Selain itu, kita juga langganan majalah anak-anak yang selalu punya artikel bermanfaat buat kita baca.
Adik gue itu seniman abis. Dia 3 tahun lebih muda dari gue, dan jago banget menggambar/ melukis. Jadi, dia menghabiskan banyak waktu luang di rumah juga dengan menggambar sketsa-sketsa cewek berkaki panjang dan baju berjumbai-jumbai. Sedangkan gue kebalikannya. Orang nggak bakal bisa ngebedain mana gambar kuda dan mana gambar kucing, kalo gue yang gambar. Karena nggak bakat gambar itulah, gue lebih suka nulis. Gue suka nulis cerita pendek, atau imajinasi gue tentang orang atau hal yang ada di sekeliling gue, gitu.
Kenapa gue memutuskan untuk menulis blog (lagi)?
Itu karena beberapa hari belakangan ini, suka ada ide-ide yang terlintas gitu aja di pikiran gue. Beberapa hari libur (sebenernya lagi nunggu waktu buat ujian Studienkolleg) bikin gue ngerasa kurang produktif. Gue suka tidur larut malam dan bangun siang, tanpa ada sesuatu yang berguna yang gue lakuin pada waktu bangun. Itu bikin perasaan bersalah muncul di permukaan; bukan perasaan bersalah sama orang lain, tapi lebih ke perasaan bersalah sama diri sendiri. Ngerasa bertanggung jawab sama diri sendiri, untuk bikin hidup jadi lebih berkualitas.
Gue nggak bilang kalo kita harus ngelakuin hal-hal keren supaya hidup jadi berkualitas. Tapi menurut pandangan gue, hidup itu akan jadi lebih berarti dan berkualitas, kalo kita bisa berbagi sama orang lain. Kita bisa belajar bersama orang lain, dan membagikan pengetahuan kita ke orang yang mungkin belum tahu. Rasanya jauh lebih berarti jika ada 1 orang aja yang membaca tulisan lo dan menjadi "mengerti", ketimbang nggak ngelakuin apapun dalam menjalani hari-hari lo. Itulah alasan gue mau
nulis dan publish tulisan gue lagi di sebuah blog; "Berbagi". Semoga setan malas tidak datang kembali menghantui. Semoga...
Subscribe to:
Posts (Atom)