Sampai Jadi Debu





Belakangan ini gue lagi seneng dengerin satu lagunya 'Banda Neira' yang judulnya 'Sampai Jadi Debu'. Liriknya pendek dan simple begini:

Badai Tuan (Puan) telah berlalu, salahkah ku menuntut mesra?
Tiap pagi menjelang, kau di sampingku
Ku aman ada bersama mu Selamanya... Sampai kita tua Sampai jadi debu Ku di liang yang satu, ku di sebelahmu

Lagu ini dengan segala komponen di dalamnya menjadi satu kesatuan yang ciamik di telinga gue. Intro dengan dentingan pianonya yang indah, suaranya Rara Sekar (yang gue barusan find out ternyata mbak kandungnya Isyana Sarasvati) yang soothing, liriknya yang nggak banyak kata-kata tapi sarat makna. I shamelessly admit that I sobbed like a crybaby when I first listened to the song properly (and it was in a train full of people HAHAHA). Gue bilang properly, karena sebenernya gue udah pernah denger lagu ini sebelumnya, tapi memang hanya sepintas dan nggak bener-bener kayak mencerna kata-katanya gitu. 
Pas gue dengerin lagu ini di kereta itu, pikiran gue melayang ke Siborong-borong, kampung halaman gue di Sumatera sana, tempat di mana jasad kakek dan nenek gue dimakamkan berdampingan. Jarak waktu kepergian mereka memang lumayan jauh (kakek di tahun 1981 sedangkan nenek menyusul di tahun 2016 silam) namun arrangement ini sudah dibuat jauh sebelum mereka pergi meninggalkan dunia fana ini. Jadi ceritanya, orangtua dari kakek gue punya satu kavling tanah yang diperuntukkan khusus untuk tempat peristirahatan abadi mereka dengan keturunan-keturunannya. Hal seperti ini memang common dalam tradisi batak, dan juga mungkin etnis lainnya di Indonesia. Di tempat itu, pasangan suami dan istri dimakamkan bersebelahan satu dengan yang lainnya. 
To me, my Grandma was a living testimony that being buried next to your significant other can be something to look forward to :D Gue inget banget, selain udah menyediakan kebaya yang mau dia pakai di peti matinya, nenek gue juga selalu bilang bahwa nanti dia akan 'tidur' bersebelahan dengan kekasih jiwanya, kakek gue. 
Bagi gue sih, dikubur sebelahan atau tindih-tindihan atau nggak, gue percaya gue akan bersatu sama orang-orang yang gue cintai di dunia sana nanti. Mungkin bukan dengan bentuk yang seperti sekarang, dan mungkin bukan dengan cara-cara yang bisa gue bayangkan, tapi gue percaya gue akan ketemu mereka lagi nanti, terlepas gue dikubur dekat mereka, atau dikremasi (which I highly consider, karena harga tanah kuburan kan mahal). Tapi gue dapat memahami keinginan banyak orang untuk dimakamkan dekat dengan orang yang mereka cintai, kayak yang di lagu Banda Neira ini. Waktu kita begitu nyaman dan amannya berada di dekat seseorang, bukankah yang kita inginkan adalah terus berada di sebelahnya? Bahkan mungkin kematianpun nggak cukup untuk menjadi penghalang untuk kita ingin terus berada bersama-sama dengan mereka.

Upaya Sia Sia Mendefinisikan Cinta

Kemarin saya berbincang dengan seorang teman yang usianya terpaut lumayan jauh di atas saya. Konon katanya, semakin banyak umur seseorang, semakin banyak pula pengalamannya. Jadi saya bertanya dong, “Kak, kakak lebih memilih mencintai atau dicintai?” Pertanyaan klise memang. Dan sayapun berekspektasi untuk mendapatkan jawaban yang tidak kalah klisenya; seperti yang sering  banyak perempuan bilang, “mending dicintai daripada mencintai.” Katanya, belajar mencintai orang itu lebih mudah, daripada mencoba membuat orang yang nggak cinta jadi cinta sama kita. Jadi saya pikir, jawaban si kakakpun pasti akan menyerupai format itu. Nggak tahunya dia jawab begini, “Saya memilih dicintai, karena kalau sampai harus berpisah, hati saya nggak akan sesakit kalau saya mencintai orang tersebut.” Hmm, menarik, pikir saya. Lalu saya tanya lagi, “Pentingkah ada cinta di dalam pernikahan?” Lalu jawabnya “Tidak. Yang terpenting itu komitmen. Pasangan yang bertahun-tahun menikah, sudah tidak ada cinta lagi. Yang ada hanya perasaan nyaman, saling membutuhkan, dan komitmen.” “Lalu apakah pasangan kakek nenek yang jalan sambil gandengan tangan itu bukan karena cinta?” saya tanya lagi. “Itu tadi yang saya bilang rasa nyaman,” jawabnya.


Sekarang saya jadi berpikir, sebenarnya apa sih cinta itu? Katanya di dalam bahasa Yunani, ada 4 kata yang dapat diartikan ke dalam bahasa inggris sebagai cinta, atau “love” dalam bahasa inggris, walau memiliki makna yang berbeda-beda.  Ada philiaerosstorge dan agape. Saya nggak kepengen membahas terms of love in greek ini, saya yakin kalian semua udah tahu lah. Ini saya hanya sedang mencoba mengerti, tentang apa sih sesungguhnya cinta itu.



Detik ini ada begitu banyak perasaan yang saya rasakan, terhadap berbagai orang yang berbeda, yang mungkin bisa didefiniskan sebagai cinta. Tapi karena sayapun nggak punya definisi yang definite soal apa cinta itu, saya jadi kurang yakin apakah perasaan itu memang cinta apa bukan. Saya juga nggak tahu, apa sih tanda cinta itu? Apa berkirim pesan tiap hari untuk saling bertanya kabar? Mengingatkan jangan lupa makan, mandi, buang air, bernafas? Berkorban waktu, tenaga, perasaan? Mendoakan dari jauh? Ciuman yang membuat lutut lemas? Pelukan yang hangat dan lama? Bagi tiap orang, mungkin jawabannya akan berbeda-beda. Ada yang mungkin ngamuk-ngamuk kalau pasangannya lupa ngingetin dia buat makan, dianggapnya sudah tidak cinta. Ada yang mungkin berpikir, cinta bukan cuma sekedar hal remeh temeh kayak begitu. Saya pikir sih nggak ada yang salah dan nggak ada yang absolutely benar. Bagi saya, cinta itu bukan untuk didefinisikan. Biarkanlah dia dengan segala keabstrakannya. Menurut saya, ketika saya ingin orang-orang terdekat saya bahagia, itu sekedar karena mereka adalah bagian dari diri saya, dan ketika mereka bahagia, sayapun demikian. Apakah lantas itu definisi cinta? Ya tergantung tanyanya ke siapa. Atau ketika saya melihat dia yang tidur di lantai supaya saya bisa tidur di kasur, apakah lantas saya langsung GR dan berpikir dia “berkorban” karena cinta sama saya? Ya nggak juga. Bisa aja itu cuma act of courtesy saja, ndak lebih. Atau cintakah itu kalau saat ini saya berharap bisa mendengar dengkurannya yang mungkin mengisyaratkan kalau tidurnya nyenyak? Nggak juga. Pada dasarnya, saya nggak mau lagi menebak-nebak dan mendefinisikan perasaan saya, apalagi perasaan orang. Saya sudah capek berada dalam posisi di mana saya mencoba memahami apa perasaan orang terhadap saya, dan perasaan saya terhadap orang tersebut. Untuk saat ini, saya memilih untuk tidak melabeli perasaan apapun itu yang saya rasakan terhadap seseorang, atau sesuatu. Saya hanya ingin meresapi dan menikmatinya, selagi saya masih bisa.