Renata dan Ursula




Waktu gue dulu pernah kerja babysit di satu keluarga Jerman di Hamburg, ibu dari si anak yang gue jaga pernah bilang gini "Asrida, kalo saya perhatiin kamu itu gampang deket ya sama orang tua." Bukan tanpa alasan dia ngomong gitu ke gue, sebelumnya dia lihat gue ngobrol akrab sama ibunya, atau neneknya anak-anak, yang umurnya saat itu 72 tahun. Dia bahkan bilang kalau gue kelihatan lebih enjoy ngobrol dengan ibunya daripada dia, yang gue bales dengan cengengesan aja. Gue nggak heran sebenernya kalau orang bisa berpikir demikian, karena memang gue sangat menikmati kesempatan mengobrol dengan senior citizens atau orang-orang berusia lanjut. Mungkin aja ini ada hubungannya dengan fakta bahwa gue dibesarkan sama opung boru (nenek) selepas nyokap meninggal, sehingga berkomunikasi dengan orang tua merupakan satu hal yang natural buat gue. 

Sebulan ini gue mengalami masalah kesehatan yang membuat gue harus sering bolak balik ke rumah sakit dan bahkan beberapa kali diopname. Soal ini gue akan tulis lebih mendetail di lain kesempatan, tapi tulisan kali ini khusus menceritakan tentang dua 'teman baru' gue yang namanya gue sebut di judul entry ini. Gue kenal mereka waktu kami sama-sama terbaring lemah di satu rumah sakit katolik di kota Duisburg. 

Renata adalah penduduk pertama di kamar stasiun nomer 25 itu. Dia tidur di sebelah jendela. Umurnya 81 tahun dan dulunya, dia dan almarhum suaminya Hans punya restoran cepat saji yang cukup terkenal di Duisburg, namanya Hähnchen Hans (Hähnchen dalam bahasa indonesia artinya ayam or chicken in english). Dia seneng cerita (BANGET), terkadang mengulang-ulang cerita yang sama di kesempatan berbeda, tapi gue tetap menikmati setiap ceritanya. Favorit gue adalah ketika dia sebut nama suaminya, dia selalu bilang 'Mein Hans' yang artinya Hans-ku, dan gue bisa lihat dari seberang ruangan bahwa matanya berbinar waktu bilang itu. Usaha restoran mereka terpaksa harus ditutup 10 tahun yang lalu karena baik Hans maupun Renata udah terlalu uzur untuk mengelolanya, dan anak mereka satu-satunya Petra memilih untuk berkarir sebagai konsultan pajak. Hans sendiri berpulang ke pangkuan Sang Pencipta bulan November 2018 silam. Gue bisa lihat betapa Renata masih heartbroken ditinggal Hans-nya, ditambah lagi dengan kondisi kesehatannya yang memburuk saat ini, but I'm so impressed that she could still manage to crack some jokes and share a laugh or two with me in that gloomy hospital room. Sekali gue datang ke dekat tempat tidurnya waktu gue udah cukup kuat selepas operasi, dia kesusahan buat buka toples herring saladnya dan gue datang buat membantu. Dengan mata berbinar-binar dia berterima kasih ke gue, seakan akan gue baru aja ngasih dia duit satu juta euro.

Ursula datang di malam kedua gue di rumah sakit, diantar putri semata wayangnya Barbara. Dia dibawa ke emergency room malam-malam karena terpeleset di apartment tempat dia tinggal sendirian, selepas kepergian suaminya lebih dari 20 tahun lalu. Ursula berusia 5 tahun lebih tua dari Renata, namun secara physically terlihat lebih sehat. Waktu dia tiba, gue lagi setengah tidur karena pengaruh pain killer yang bikin drowsy. Gue denger Renata ngomong dengan nada setengah serius setengah bercanda "You could not be any luckier to end up in this room, because we are the best neighbours you could ever get in this hospital. That young lady who's sleeping next to you, well she's an angel." (the original dialog was of course in German) Gue yang mendengar itupun kupingnya jadi besar dan perasaan GR membuncah di dada. Tiba-tiba suster datang membangunkan gue untuk periksa tekanan darah, yang membuat gue akhirnya bisa lihat dan berkenalan dengan tetangga baru gue ini. Ursula punya tampilan yang hampir mirip dengan Renata, mereka sama-sama punya rambut putih yang dipotong pendek model bob dan mata yang indah berwarna biru atau abu-abu. Setelah membantu ibunya berganti baju tidur, Barbara pamit pulang ke kami bertiga. Ursula yang nggak kalah chatty-nya sama Renata itupun ngajakin kami ngobrol ngalor ngidul mulai dari tentang Thysen Krupp (perusahaan baja terkenal berbasis di Duisburg di mana ayah mereka berdua sama-sama pernah bekerja), André Rieu (pemain biola dari Belanda yang ternyata gue dan Ursula sama-sama idolain), sampai ke Luciano Pavarotti. Seperti kebanyakan lansia pada umumnya mereka punya masalah sulit tidur atau insomnia. Gue ingat banget dulu karena almarhumah opung juga punya masalah yang sama. Gue yang karena pengaruh obat jadi gampang ngantuk, kadang ketiduran, tapi waktu gue bangun lagi, dua golden girls itu masih aja cerita seru tiada henti. Gue ingat Ursula bilang gini "Di rumah kalau gue susah tidur, biasanya gue baca-baca surat cinta nyokap dan bokap gue yang masih tersimpan rapi. Kadang gue juga nulis puisi atau sejenis diary, gue tulis semua yang gue ingat di masa lalu, pertama kenal suami, menikah, punya anak. Kerjaan gue. Menulis seperti terapi buat otak gue, dan gue berharap suatu saat ketika ingatan gue makin lemah, gue bisa baca-baca lagi tulisan itu. Sayangnya sudah beberapa lama gue susah buat pegang pensil karena arthritis." 

Sejujurnya gue amat mengutuki keterbatasan bahasa Jerman gue karena mungkin ada beberapa hal yang nggak 100 persen gue tangkep dari cerita mereka. Gue bersyukur banget penyakit gue bisa mempertemukan gue sama dua wanita hebat yang cerita hidupnya menginspirasi gue dalam banyak hal ini. Gue belajar tentang cinta ibu yang tanpa syarat waktu Renata begitu bahagia dan bangganya cerita tentang Petra, putri semata wayangnya yang selama gue 3 malam diopname nggak sekalipun gue lihat datang jenguk ibunya. Gue belajar kemandirian, ketidakbergantungan pada orang lain sekalipun itu keluarga lo sendiri. Gue belajar kesetiaan pada pasangan sampai akhir hayat. Siang sehari sebelum gue discharged dari RS, Renata dipindahkan ke institusi lain. Ursula nangis, sedangkan gue yang entah karena nggak mau kelihatan cengeng atau karena air mata gue udah kering habis nangis di hari-hari yang lalu, cuma berkaca-kaca sambil megangin tangan Ursula. Gue nggak paham gimana caranya kita bisa bonding dalam waktu semalam doang. Waktu sorenya Ursula juga dijemput Barbara, dia nggak cuma mau disalam sama gue, tapi dia tarik gue ke pelukannya. Ada rasa haru yang nggak bisa gue jelaskan, rasa rindu gue ke Opung yang membesarkan gue, rasa sayang ke wanita hebat yang gue peluk ini. Dia juga nggak lupa minta alamat gue di Duisburg, dengan alasan ingin berkirim surat, dan gue juga melakukan hal serupa. Satu hal terakhir yang gue ingat mereka bilang, bahwa di jaman mereka masih kecil, adalah hal yang lumrah untuk kakek dan nenek tinggal bersama di rumah bersama mereka dan orangtua mereka. "Tapi kalau jaman sekarang, anak-anak berlomba-lomba ngirim orangtua mereka ke Altesheim (panti jompo)" kata Ursula. Kedua wanita ini merupakan golongan orang tua yang memilih untuk tinggal sendiri di apartement mereka, walaupun pilihan ini bukan tanpa resiko. Ursula bisa masuk rumah sakit karena jatuh di apartementnya sendiri. Mungkin para warga senior ini memang memiliki sense of independency yang sangat tinggi, tapi menurut gue nggak ada salahnya buat anak dan cucu mereka untuk lebih meluangkan waktu mengunjungi mereka, sekalipun hanya untuk sekedar berbagi cerita.

No comments