I should admit that although I have sworn to myself that I will never put my fingers on anything close to chick-lit novels, I kind of read some of Ika Natassa's books, too. My first encounter with her works was exactly last year, when I accidentally found one of a movie trailer based on her novel, 'Critical Eleven'. The movie was actually released in 2017, and I don't know why I found the trailer as one of recommended videos on my YouTube a year later.
Well, since I wrote the title in Bahasa Indo, let's switch back to my beloved native language.
Seperti yang sebelumnya gue bilang, gue kenal Ika Natassa sebagai seorang penulis novel nasional kita yang cukup beken saat ini karena nggak sengaja lihat teaser/ trailer film adaptasi dari novelnya di YouTube. Karena penasaran dengan filmnya, gue-pun akhirnya nonton lewat streaming waktu itu. Ide ceritanya sebetulnya nggak ada yang baru, berkisar tentang masalah di antara pasangan akhir 20-an atau awal 30-an yang baru saja mulai masuk dalam kehidupan rumah tangga. Nggak ada yang spesial banget, selain daripada dinamika kehidupan yang digambarkan di sana tidak senorak sinetron Indonesia pada umumnya. Karena begitu banyaknya komen netizen(s) yang begitu memuja-muja novelnya, sebagai seorang yang lebih menggemari buku ketimbang adaptasi film, gue-pun tergelitik untuk membaca bukunya. Selain Critical Eleven yang gue 'lahap' hanya dalam semalam, gue juga baca satu novel Ika Natassa yang lainnya, Antologi Rasa.
Sejujurnya, gue sudah mencoba puasa membaca buku-buku bergenre chick lit atau teen lit atau sejenisnya. Beberapa buku berbahasa Indonesia yang masih gue baca di usia gue yang sekarang di antaranya buku-buku karangan Pramoedya A Toer, dan yang cukup baru, Leila S Chudori. Terakhir gue baca teenlit itu ketika gue masih masuk kategori 'teenager', yaitu pas SMA. Gue memutuskan membaca novel-novel mbak Ika Natassa sama seperti ketika gue sometimes craving for pringles or soda; karena hidup nggak selamanya tentang 4 sehat 5 sempurna. Sometimes you need another kind of foods for your thought.
Gue baru baca dua bukunya, satu filmnya, dan satu trailer filmnya yang saat ini sedang diputar di bioskop-bioskop kesayangan anda di seluruh Indonesia (nanti gue post link YouTubenya; judulnya Twivortiare.) Tapi satu hal yang gue simpulkan dari at least 3 karyanya yang gue kenal, bahwa Ika Natassa selalu mengangkat kisah dan problematika percintaan masyarakat urban menengah cenderung ke atas. Tokoh - tokoh yang ditampilkan entah itu dengan nama Ale - Anya, Beno - Alexandra ataupun Harris - Keara, semuanya punya satu persamaan: sama - sama kalangan masyarakat yang nggak perlu bergelut dengan masalah perut. Mungkin ini ada hubungannya dengan latar belakang sang autor sendiri yang juga merupakan seorang bankir sukses (seperti karakter ciptaannya Alexandra di Twivortiare) dan sudah mengecap pendidikan luar negeri pula. Gue nggak kebayang misalnya seseorang seperti let's say Widji Thukul nulis buku bertemakan seperti Critical Eleven, where the male and female protagonists met on an airplane's first class seats. Sekalipun diisi dengan konflik-konflik yang cukup umum, gue yakin banyak hal dalam cerita novel Ika Natassa yang masyarakat negara +62 agak kurang bisa merasa related.
Bukan bermaksud mengkritik, malahan gue berpikir banyak banget ya ternyata tema yang bisa diangkat dalam membuat suatu karya, entah itu film, puisi ataupun prosa. Dan dari novel-novel Ika Natassa-pun gue belajar, bahwa di dunia ini, bukan cuma orang miskin yang punya problema.
Ini trailer Twivortiare
dan ini blognya Ika Natassa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments