Featured Slider

McD Sarinah dan Budaya Romantisasi Berlebihan

Kemarin saat sedang ngobrol-ngobrol di Zoom dengan teman-teman pelajar di sini, salah satu teman gue tiba-tiba nyeletuk, 'eh, pada tahu McD Sarinah, nggak?' Buat kita yang kebanyakan pernah les bahasa Jerman di Goethe Institut Sam Ratulangi, daerah Sarinah menjadi familiar karena sering dijadikan tempat nongkrong atau sekedar dilewati saat pergi atau pulang kursus. Teman gue bertanya dikarenakan rencana akan ditutupnya gerai McD Sarinah secara permanen, yang merupakan bagian dari proses renovasi besar-besaran gedung Sarinah. McDonald's Sarinah ini sendiri dianggap bersejarah, karena merupakan gerai pertama McD yang dibuka di Indonesia lebih dari 30 tahun lalu. Saat itu waralaba makanan cepat saji baik yang lokal maupun internasional belum bertebaran sebanyak sekarang di Indonesia (walaupun KFC, Texas Chicken dan A&W sudah masuk beberapa tahun sebelumnya).

Mungkin bisa dibilang, awal tahun 90an merupakan titik di mana budaya mengkonsumsi panganan cepat saji makin berkembang di negara kita. Gue inget banget betapa seringnya dulu menghadiri pesta ulang tahun teman masa kanak-kanak entah itu di McD atau di KFC. Buat gue yang nggak pernah rayain ultah di luar rumah, bisa ngerasain ultah dirayain di restoran cepat saji tuh rasanya 'mevvah' banget. Walaupun setelah gue gede baru gue menyadari bahwa alasan paling utama dari orangtua memilih merayakan ultah anaknya di resto cepat saji adalah asas kepraktisan. Bayangin lo ga perlu kehabisan nafas niupin balon, dekor sana dekor sini, masak ini itu (waktu gue ultah 7 tahun malah tetangga sekompleks gue bikinin tumpeng :o) Belom lagi waktu tamu pulang, lo harus beberes dan nyuci piring. Semua itu nggak perlu dipikirkan kalau lo rayain ultah anak di mekdi, KFC atau resto cepat saji lainnya. Semuanya udah tersedia di paket ultah, dan ketika pesta berakhir, lo hanya tinggal pulang ke rumah dengan hati bahagia. Gotta admit that my parent wasn't a cheapskate for always celebrating my (and my sister's) birthdays at home, it's just that they had so many spare time to do all the stuff themselves.

Lewat berita yang banyak bersliweran di timeline sosial media gue, gue found out banyak konsumen yang merasa sangat emosional saat tahu gerai McD Sarinah akan tutup permanen. Unlike me who had the 'so-what?' attitude when I heard the news, banyak orang di luar sana yang (mungkin bahasa lebaynya) merasa 'terpukul' mendengar berita ini. Ini dibuktikan dengan terbentuknya kerumunan ramai di muka restoran tersebut tepat di malam terakhir pengoperasiannya, 10 Mei kemarin. Masyarakat tampaknya tidak mengindahkan anjuran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dari pemerintah sama sekali dan memilih untuk berdesak-desakan di depan restoran yang mau tutup tersebut, sekedar untuk mengabadikan moment dengan cara ber-selfie. Sejujurnya sekalipun kondisi saat ini tidak sedang dalam keadaan darurat pandemi, tindakan semacam ini bagi gue pribadi merupakan tindakan tolol dan nggak masuk akal. Ya mungkin karena gue bukan termasuk orang yang sentimental akan hal-hal seperti itu kali ya. Atau mungkin gue kurang banyak jajan McFlurry di sana waktu jaman nge-Goethe dulu, sehingga gue nggak merasakan perasaan kehilangan yang mendalam amat. Mungkin juga karena gue nggak pernah ngerayain ultah pas kecil di sana juga. Bisa jadi benar, bahwa ribuan orang yang membentuk kerumunan di depan McD Sarinah tiga hari lalu itu punya kenangan yang begitu mendalam dengan tempat tersebut, tapi mestikah mereka melakukan tindakan gegabah dan tidak bertanggung jawab seperti itu hanya dengan mengatasnamakan kenangan? Betapa konyolnya jika aksi kumpul- kumpul kemaren yang mereka anggap innocent itu jadi sarana penyebaran CoVid19 yang cukup masif? Berasa goblok nggak kalau kira- kira dua minggu dari sekarang ada yang tiba- tiba nunjukin simptom? Dan waktu ditanya rekam jejaknya kemaren-kemaren habis ngapain aja, jawabannya 'ngumpul-ngumpul di depan McD Sarinah sama orang asing' Seandainya kejadian ini tidak berlangsung di tengah pandemi corona seperti sekarang ini, mungkin reaksi gue paling banter adalah menertawakan kekonyolan orang-orang yang begitu berlebihan dalam meromantisasi sebuah restoran. Hanya keberadaan sebuah restoran loh ya, nggak lebih. Tapi karena keadaan saat ini sedang berbeda, gue jatohnya bukan geli lagi tapi lebih ke murka. Apalagi gue baca di satu harian surat kabar, ada orang yang rela jauh-jauh dari Bekasi memboyong istri sama anaknya ke sana. Rasanya pengen gue teriakin tuh di depan mukanya, 'Woy ngapain lo di sini???' Gue terkadang bertanya-tanya di dalam hati, 'Am I the only person who takes this whole pandemic-thing seriously?' Gue yakin banyak teman dan saudara gue di Indonesia (khususnya Jakarta) yang juga menanyakan pertanyaan yang sama ke dirinya setiap hari. Makin lama kita merasa seperti teralienasi dari dunia luar. Kita mulai berpikir, 'Ini gue yang normal dan orang di sekeliling gue yang absurd, atau sebaliknya?'


Over-romanticising culture

Berdasarkan Cambridge Dictionary, romantisasi artinya membicarakan suatu hal seakan hal tersebut lebih baik dari aslinya, atau mempercayai bahwa suatu hal itu lebih baik (daripada sebenarnya). Gue merupakan individu yang percaya bahwa nggak ada manusia yang imun dari fenomena ini. In one way or another kita pasti pernah mengalami saat di mana kita meromantisasi suatu keadaan, atau seseorang di masa lalu kita. Ketika sedang meromantisasi sesuatu, maka pikiran kita didominasi oleh hal-hal yang baik dan positif tentang hal tersebut. Kita cenderung mengabaikan 'flaws' atau kekurangan yang ada, karena fokus kita adalah menciptakan ilusi yang membuat hal tersebut terlihat sempurna. Sebagai contoh: beberapa bulan pertama gue tinggal di Jerman, gue begitu rindu dengan suasana hiruk pikuk kota Jakarta yang membuat gue akhirnya terjerumus dalam romantisasi. Gue menyadari di satu titik bahwa gue mulai berlebihan dalam memproyeksikan Jakarta, yang sebenernya nggak sesuai dengan gambar Jakarta pada kenyataannya. Gue lupa rasanya muak karena menghirup udara polusi, dan lupa dengan ketidakteraturan dan kemacetan di jalanan. Gue cuma ingat bahwa Jakarta merupakan tempat di mana orang-orang yang gue kasihi berada.
Meromantisasi suatu hal juga bisa dilakukan secara kolektif, contohnya ya kasus kumpul- kumpul di depan McD Sarinah tadi. Salah satu contoh lain adalah romantisme orde baru dan kepemimpinan Soeharto. Banyak orang meng-klaim merindukan masa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto, karena dianggap stabil secara sosio ekonomi. Fenomena romantisme sebagian masyarakat ini yang kemudian dimanfaatkan beberapa politisi untuk meraup suara dalam pemilihan umum. Propaganda tentang jaman keemasan Soeharto yang mungkin merupakan omong kosong di telinga sebagian orang, nyatanya cukup meyakinkan
sebagian masyarakat lainnya. Ini merupakan salah satu bentuk bahaya dari romantisasi berlebihan, yaitu hilangnya kemampuan untuk mengambil keputusan berdasarkan logika dan fakta. Ini juga yang membuat gue menyayangkan keputusan orang-orang untuk berkerumun di depan McD Sarinah tempo hari. Menurut gue, kenangan sebaik apapun tentang sebuah restoran nggak sebanding nilainya dengan keselamatan dan nyawa manusia. Dengan mengabaikan aturan PSBB, gue jadi berasumsi bahwa orang-orang ini tidak perduli sama nyawanya sendiri, let alone sesamanya. Seandainya lebih banyak orang yang bisa berpikir secara rasional (dan juga didukung dengan aparat yang mampu bertindak tegas), kejadian seperti kemarin mungkin bisa dihindari.
romanticize verb ( T )
/roʊˈmæn·təˌsɑɪz/
to talk about something that makes it sound better than it really is, or to believe that something is better than it really is

Blessing in Disguise?

Berkat itu adalah bayi yang lahir di tengah sepasang suami istri yang telah lama mendambakan buah hati,

atau ketika si tukang becak dengan wajah haru dan hati penuh dengan rasa bangga yang membuncah, mengantarkan putri kesayangannya ke acara wisuda.

Berkat ada di tengah keluarga yang tidur nyenyak di rumah yang nyaman, ketika sang ayah memiliki pekerjaan stabil dan sang ibu melakukan segala yang terbaik untuk suami dan anak-anaknya;
anak-anak yang patuh, sehat, berprestasi, bahagia.

Lalu,

apakah masih berkat namanya ketika sepasang suami istri muda harus menguburkan jasad bayi lucu mereka yang masih berumur beberapa hari,

 saat si TKW yang berjuang hidup dan mati di negeri orang untuk membiayai hidup putra satu-satunya malah mendapati putranya menjadi pecandu narkoba,

atau saat mendapati keluarga menjadi tidak lagi harmonis dan masalah finansial menjadi bahan pertengkaran sehari-hari di dalam rumah tangga?


It's easy to count your blessings when it is obvious. But how about all the blessings in disguise?

Corona: Sebuah Catatan Singkat

Hallo, blog.

Sejujurnya gue sedang tidak bernafsu untuk nulis tentang apapun. Ketidakbernafsuan ini akan tercermin jelas dalam produksi tulisan yang berantakan berikut ini. Tulisan ini adalah bentuk keresahan yang berkecamuk dalam diri gue di dua minggu terakhir ini. I promise I will make it as briefly as possible, as told by the title.

Sejak awal mula outbreak CoVID-19, state of mind gue udah berubah-ubah mulai dari denial, sok cool, mendadak panik, mencoba menerima keadaan, hingga akhirnya benar-benar pasrah dan berserah. Di awal gue bahkan mencoba untuk tidak mencari tahu tentang keadaan apapun yang terjadi di tempat gue tinggal, ataupun di belahan lain dunia, yang berkaitan dengan virus corona. Gue pikir, out of sight, out of mind, right? Gue mencoba yakinkan diri bahwa ini semua akan segera mereda, dan hidup akan berjalan kembali dengan normal.

First outbreak in Wuhan was at the end of 2019, and we are almost at the end of the first quarter of 2020. The curve has not flattened, yet.

No one can really tell how and when this is gonna end. Di tengah segala ketidakpastian ini gue sempat memanjatkan doa yang begitu egois: gue pengen diri gue dan keluarga, temen serta orang-orang lain yang gue kasihi diluputkan dari bahaya si virus ini. Gue pikir, instead of kita, kenapa nggak orang-orang jahat aja yang kena, ya Tuhan? Kayak Harvey Weinstein si sexual predator itu, yang kabarnya positive corona di dalam penjara. It makes more sense, right? Isn't Your wrath revealed against ungodliness and unrighteousness of men?

Sampe kemudian akhirnya tadi gue baca thread di twitter adek gue, yang cerita bahwa mama dari teman baiknya jadi salah satu korban yang akhirnya meninggal dunia karena corona virus. Almarhumah adalah seorang dokter; direktur dari salah satu RS di Bandung. Dari cerita adek gue, beliau merupakan orang yang sangat baik dan berjiwa sosial. Waktu baca itu gue seketika tersadar, siapalah gue merasa berhak berdoa kayak tadi? Dari segitu banyaknya korban yang sudah berjatuhan, tidak sedikit di antaranya merupakan jiwa-jiwa selfless yang di saat akhir hidupnya, sekalipun dengan kesadaran penuh bahwa nyawa mereka sudah di ujung tanduk, tetap bertaruh mencoba menyelamatkan jiwa dari para pasien mereka. Sedangkan gue dengan pongahnya merasa kayak pahlawan cuma karena gue masih kerja di supermarket sampe sekarang. I am so embarrassed when I remember how I was getting a big head every time people thanked me for my service, as if they owed me big time, when in reality, the only reason I'm still going to work is the paycheck. How could I ever think that my life is much worthier than those doctors'?

Having that thought doesn't make me feel any better. It doesn't lessen my worry, at all. Gue takut menghadapi hari esok, karena gue nggak tahu apakah besok masih ada. Memang kata alkitab, kekhawatiran nggak akan menambah sehasta pada jalan hidupmu; tapi pada kenyataannya, kekhawatiran akan tetap ada selama manusia masih bernafas. Mungkin buat sebagian orang, statement gue menunjukkan kurangnya iman. Mungkin mereka benar. Iman gue mungkin belum begitu mumpuni, sehingga gue menjadi sangat marah ketika mendengar masih ada orang yang berpikiran untuk mengadakan birthday party di tengah situasi yang begitu genting ini. Atau ketika masih ada orang yang 'nakal' dan mengabaikan anjuran pemerintah untuk melakukan physical distancing. Kalau perduli kesehatan diri sendiri dan orang lain dianggap nggak beriman, biarlah gue dicap nggak beriman sekalian.

Terakhir, ada satu hal yang gue petik dari semua kejadian ini. Selain yang tadi soal gue berdoanya masih suka egois, gue juga terlalu fixated sama masa depan dan masa lalu. Sejak kecil gue udah membiasakan diri merancang masa depan supaya begini dan begitu. Faktanya, banyak rancangan gue yang nggak kejadian. Acapkali apa yang gue inginkan nggak sama dengan apa yang gue butuhkan. Dan gue suka tertawa kalau ingat betapa gue pernah menginginkan sesuatu 5 tahun yang lalu, yang saat ini gue tahu hal tersebut sama sekali nggak baik buat diri gue. Juga soal masa lalu. Seringkali gue berkutat dengan segala macam "What Ifs" yang membuat gue lupa untuk menikmati momen di detik ini. Gue mencoba mengubah sesuatu yang sudah tidak bisa diubah, atau yang memang semestinya tidak berubah. Dunia pada saat ini menyadarkan gue satu hal: I live neither in the future nor in the past, and I can't spend the time I have being fixated on them. Nggak ada garansi gue besok masih bangun. Nggak ada garansi juga akan ada tulisan berikutnya dari gue di blog ini. Yang bisa gue lakuin saat ini adalah memanjatkan syukur di tiap hela nafas, dan berharap, dunia di esok hari akan lebih indah, bukan cuma buat gue, tapi buat semua makhluk.





Duisburg, 270320

Catatan Akhir Tahun

Sebentar lagi letusan mercon dan kembang api tepat di jam 00:00 menandai bergantinya tahun dari 2019 ke 2020. Pergantian tahun kali ini spesial karena dekade baru juga dimulai dengan berakhirnya tahun 2019. Bagi gue, 2019 adalah tahun transisi, dikarenakan banyaknya perubahan yang terjadi di dalam hidup gue saat mengawalinya. Gue berganti jurusan dari hukum ke linguistik di akhir 2018 silam, dan nggak terasa gue berada di semester ketiga sekarang. Kalau semua berjalan sesuai rencana dan Tuhan ijinkan, gue akan selesaikan studi ini dalam satu setengah tahun ke depan, atau 3 semester lagi. Jujur gue merasakan pressure yang begitu besar saat gue menuntut diri gue sendiri untuk menyelesaikan pendidikan gue tepat waktu (dalam kurun waktu 3 tahun). Pengalaman di masa lalu ketika gagal menjalani studi hukum membuat gue takut untuk bermimpi lulus tepat waktu. Tapi gue bersyukur Tuhan memberikan kemampuan untuk gue bisa menyelesaikan modul-modul gue tepat waktu, walau tidak dengan hasil yang sempurna. Harapan gue di 2020, semoga gue makin diberi kegigihan dan daya tahan untuk menyelesaikan modul-modul yang pastinya makin bertambah tingkat kesulitannya. Gue berharap tahun ini gue sudah bisa punya gambaran tentang topik bachelor thesis gue, dan mau ke mana gue melanjutkan studi master. Gue berharap Tuhan mulai arahkan gue ke bidang yang Dia betul-betul siapkan buat gue, karena Dia tahu gue bukan hanya akan do well di situ, tapi juga karena lewat bidang itu gue bisa serve Him more. 


2019 juga tahun yang cukup pahit buat gue, relationship wise. Hubungan yang gue jalin dengan seseorang yang gue kasihi sejak 2017 harus kandas di penghujung 2018. 2019 adalah masa transisi gue dari being in a relationship into being single, again. To be honest I’m the kind of person who’s really good at being single, since I spend most of my life being single. Tapi setelah hampir dua tahun menjalin hubungan dengan seseorang, butuh waktu banyak untuk bisa menyesuaikan diri hidup tanpa orang itu lagi. Di penghujung 2019 ini, gue sudah bukan lagi wanita irrasional yang gagal move on. Gue sudah sampai pada titik di mana gue menerima bahwa dia hanya bagian kecil dari masa lalu gue, dan begitupun sebaliknya gue buat dia. Ada masa di mana gue merindukan keberadaan dia, tapi gue selalu menepis pikiran itu dengan pikiran yang lain. Gue percaya yang gue alami saat ini normal, tapi bukan permanen. Gue percaya pada kemampuan gue untuk kembali mengasihi, bahkan lebih dari yang kemarin. Gue percaya, saat gue memilih untuk memaafkan dan melepaskan, Tuhan kasih gue damai sejahtera. Gue percaya, 2020 gue akan baik-baik saja.



This being human is a guest house. Every morning a new arrival
A joy, a depression, a meanness. Some momentary awareness comes as an unexpected visitor. Welcome and entertain them all! Be grateful for whoever comes, because each has been sent as a guide

Kaleidoscope - Coldplay

12112019

A short argumentative essay on Physician Assisted Suicide (PAS)


Should patients with certain conditions like terminal illnesses, unbearable mental or physical suffering be given the right to choose between life and death? Although the topic remains controversial in most parts of the world, Physician Assisted Suicide (acronym PAS) has been legalised in some countries. The number of PAS death has been increasing in these past couple of years in the Netherlands since its legalisation in the country. A non profit organisation in Switzerland called Dignitas has been providing assisted or accompanied suicide to its members, both Swiss and foreign citizens. It even became the subject of a US documentary film called “Suicide Tourist”. Although it has been successfully legalised in these countries mentioned, the arguments that support PAS represent bad moral reasoning, flawed policy and indicate failure in providing palliative care.

Proponents argue that PAS is an act of compassion since it helps the patient end his suffering by terminating his life. This argument shows fallacy at its core because it fails to differentiate between the suffering (or the pain) with the person who suffers. To end someone’s pain is not the same as to end someone’s life. A patient has right to reject certain medical treatments which cause him pain (e.g chemotherapy) even if it might hasten the death, but it is not the same thing as a physician injecting lethal substances into the patient’s body. Killing someone else or oneself is an offence against human, because it harms the intrinsic good of all human beings, which is the life itself. Both physicians and patients have moral obligations to preserve human’s life, not to destroy it.

PAS advocates individual autonomy, but we have to take into consideration the fact that some people might consider to end their lives out of desperation and vulnerability, because they fear that they have become a burden to those around them. In this case, having PAS legalised does not support the individual autonomy, like the proponents intend to. We also need to bear in mind that although some degree of autonomy is necessary in order for people to lead a responsible life, law often limits a person’s liberty freedom with the goal to protect the person himself and the society he is in, for example the prohibition of drunk driving and the obligation to put seatbelts on while driving. Making PAS permissible for people with certain conditions today gives the possibility for people with different conditions to demand the same right tomorrow.

Instead of trying to legalise PAS and makes it easily accessible, we should re-direct our energy into improving the quality of palliative care. Palliative care means therapies or treatments without curative intent, when no cure can be expected. We have to make sure that the dying patients receive the kind of care they are needing and are treated with the most dignified manner possible. Thanks to the modern medicine, it is possible now to alleviate the pain, so the patient won’t suffer too much. It is also important to assure the patients that they are not a burden to their families and friends and for their loved ones to show them support through hard times.

-Hutasoit-


References:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5102187/
https://www.cato-unbound.org/2012/12/14/patrick-lee/say-no-physician-assisted-suicide
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2585714/
https://en.wikipedia.org/wiki/Palliative_care

Berjuang

Saat ini ribuan mahasiswa di beberapa kota di Indonesia berjuang turun ke jalan untuk menentang disahkannya undang-undang yang disinyalir bukannya menertibkan tatanan hidup masyarakat namun malah merugikan. Dari ribuan mahasiswa itu ada adik gue turut di dalamnya, bersama teman-teman mahasiswa dan 5 orang dosennya. Gue yang cuma bisa menyaksikan lewat berita hanya bisa berharap semoga demonstrasi yang mereka lakukan berjalan damai, tepat sasaran dan efektif. Adik gue dengan darah muda yang menggebu-gebu tentunya membuat orang tua dan keluarga besar gue agak khawatir. Mungkin karena demo yang dilihat keluarga gue di Jakarta yang jadi cenderung anarkis, mereka punya konsepsi yang berbeda mengenai demo yang sekarang terjadi, dengan apa yang sebenarnya menjadi tujuan para mahasiswa. Tapi sejujurnya, sekarangpun gue suka susah membedakan mana benar mana salah. Kadang saat kita pikir si A orang benar, eh nggak tahunya dia cuma orang yang lagi cari panggung di stasiun TV.  Media jadi sarana distorsi kebenaran. Sepertinya memang benar waktu ada seseorang pernah bilang ke gue, bahwa gue nggak cocok masuk ke politik. Terlalu buas. Gue hanya berharap, adik gue yang politis itu bisa cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati, kayak kata alkitab. Kayaknya itu cocok jadi slogan buat politisi bersih.


Di sini gue juga berjuang dengan cara gue. Perjuangan gue memang sekarang belum terlihat berguna buat kemaslahatan umat banyak, let alone keluarga gue sendiri. Saat ini gue punya perjuangan pribadi: menyelesaikan studi gue. Gue berjuang buat melawan rasa puas yang primatur dan berjuang untuk tetap mawas diri. Dan yang paling susah dari itu semua, gue berjuang buat keluar dan pergi jauh-jauh dari comfort zone yang meninabobokan gue selama enam tahun belakangan ini. Semangat juang ini yang gue mau tularkan ke orang-orang terdekat gue, termasuk adik sepupu gue yang kemaren harus pulang ke Indonesia setelah tiba di Düsseldorf, karena bermasalah dengan visanya. Om gue yang gue pikir bakal jera mengirim anaknya ke sini, malah ternyata menganggap ini sebagai obstacle yang perlu ditaklukkan. “What doesn’t kill you makes you stronger!” is what he wrote to me over WhatsApp. Gue ingat obrolan gue dengan beliau tahun 2017 sambil lunch di Pacific Place “Asri, uda kepingin Kiky bisa belajar berjuang seperti kamu.” Om gue sadar, lahir di dalam keluarga tidak berkekurangan bisa jadi pedang bermata dua buat putra tunggalnya. Di satu sisi ada berkat di sana, tapi ada bahaya juga yang mengintai: kita bisa terlena dengan privilege yang kita dapat dari orangtua, sehingga membuat kita enggan susah. Enggan capek. Enggan berjuang. Gue bersyukur, Bapak bukan orang yang punya banyak uang. Gue sudah berkali-kali merasakan susah secara finansial. Tapi walau gitu, gue nggak menampik kadang guepun suka nggak tahu diri dan terlena dengan keadaan. Pernah ada masa di mana daya juang gue nol besar. Gue malu kalau ingat itu, dan lebih malu lagi waktu ingat perkataan om gue, dan banyak orang di luar sana yang memuji gue sebagai pejuang. Tapi hari-hari itu udah berlalu, sekarang gue fokus menatap ke depan sambil mengumpulkan sisa-sisa semangat muda gue yang masih ada. Ada banyak hal yang perlu gue perjuangkan, dari bagian terkecil sampai yang makro. Gue ingin negara gue maju, tapi sebelum itu gue mau keluarga gue punya mindset yang bener dulu. Gimana gue bisa mempengaruhi keluarga gue untuk ke arah yang positif? Dengan membenahi diri gue. Jadi in conclusion, semuanya itu kembali ke diri. 



Selamat berjuang!
"Folks I'm telling you, birthing is hard and dying is mean, so get yourself a little lovin', in between."



-Langston Hughes