Indah Pada Waktunya


Belakangan ini, gue sedang terkena sindrom (rada) males buka timeline akun social media terutama facebook. Asal muasalnya karena beberapa bulan terakhir ini gue sering mendapati post-post temen seangkatan gue (baik yang temenan di SD, SMP ataupun SMA) yang lagi sibuk berkutat dengan skripsi, bahkan beberapa di antaranya sudah wisuda. Status-status seperti, "Ahh.. Lagi-lagi harus revisi", atau "Yay!! Akhirnya skripsi diterima..", atau kayak "Mama, Papa.. Akhirnya aku penuhi janji untuk lulus sebagai sarjana!" rasanya bikin gue sedikit sensi. Maklum aja, sebagai rekan sejawat mereka dulu dalam bermain lompat tali, gue belum punya prestasi akademik apa-apa yang bisa dibanggain, kayak mereka. Perasaan iri kadang jadi nggak bisa terelakkan; manusiawi.

Di waktu temen-temen gue udah sibuk ngerancang kebaya buat wisuda, gue bahkan belum memulai tahun pertama gue di Uni. Terkadang datang perasaan nyesek mengingat umur gue yang makin hari makin tua bukan makin muda. Penyesalan-penyesalan yang dulunya nggak pernah terpikirkanpun perlahan-lahan menghampiri. Kenapa dulu gue nggak begini, kenapa dulu nggak begitu. Kenapa dulu ambil jalan A, kenapa nggak ambil jalan B. Hal-hal kayak gini sometimes bikin gue jadi down sendiri, dan mulai berpikir negatif.

Kira-kira sebulan yang lalu gue terlibat obrolan dengan salah seorang teman baik gue di SMA via skype. Dia juga lagi study di Jerman, cuma beda kota sama gue. Persis kayak gue, dia harus ngelewatin tahap sekolah bahasa dan Studienkolleg dulu, sebelum mulai kuliah di universitas. Awalnya kita ngobrol tentang masa bodoh-bodohnya kita waktu SMA; main bareng, nongkrong bareng, ngatain orang bareng (dan kelakuan-kelakuan kurang terpuji lainnya), sampe akhirnya gue cerita tentang salah seorang temen baik kita juga yang udah wisuda. Habis cerita, gue nanya gini ke temen gue, "Tan (namanya Tania), lo suka ngerasa kayak rendah diri gitu nggak sih karena telat lulus kuliah dibanding temen yang lain?"
Si Tania ketawa. Trus dia jawab, "Ah nggaklah.. Emang lo iya, Jan?(anak sekelas gue manggil gue dulu Janda dan jangan tanyakan mengapa)" Gue mengangguk lirih. Si Tania ketawa lagi. "Lah ya ngapain sih Jan? Kita semua kan ada rejeki masing-masing. Temen-temen bisa kelar duluan kuliahnya, nah kita puji Tuhan bisa ngerasain belajar di negeri orang. Lagian kan kita harus belajar bahasa baru dulu, penyetaraan dulu, jadi wajar dong kalo kita agak telat lulusnya.."

Di satu sisi gue mengerti dan bisa menerima argumen si Tania, di mana guepun menyadari bahwa semua ini udah jadi pilihan gue. Guelah yang milih buat nganggur ga kuliah setahun, di saat bokap udah suruh gue buat kuliah aja di universitas swasta. Gue juga yang milih buat setahun belajar bahasa di Jerman, belajar kultur dan segala tetek bengeknya. Seharusnya gue nggak perlu menyesali itu semua, gue hanya perlu menata kehidupan gue ke depannya. Tapi sebagai manusia yang masih hidup dalam daging, sifat-sifat kedagingan seperti iri hati, negatif thinking, over worrying masih suka datang menghampiri. Kebiasaan gue yang membanding-bandingkan diri ke orang lain ("Dulu gue juara kelas dan dia masuk sepuluh besar juga nggak, kok bisa 3.5 tahun dia udah jadi sarjana?") itulah sebenarnya yang merupakan racun yang bikin gue jadi tawar hati. Kecenderungan berpikir negatif itu yang bikin gue males tiap kali mendapati kenyataan bahwa temen-temen gue bakal wisuda dalam waktu dekat. Instead of happy for them, gue malah merutuki nasib gue sendiri yang menurut gue masih "stuck" di situ-situ aja.

Namun setelah gue pikirkan lebih dalam lagi, gue makin sadar bahwa sebenernya nggak ada gunanya memelihara perasaan negatif kayak begitu. Dan perasaan itu, gue yakin nggak akan muncul kalau gue bisa menghargai diri gue sendiri. Kalau gue melihat ke belakang; di antara titik di mana gue pertama memulai perjalananan setelah lulus SMA dan titik di mana gue berdiri sekarang ada terbentang jarak. Dan jarak itulah yang menunjukkan bahwa gue bergerak dan bukan stagnan. Pada jarak itulah gue jatuh dan bangun, jatuh dan bangun lagi. Saat menempuh jarak itulah gue banyak belajar, gue banyak ketemu orang-orang baru yang menarik, melihat dunia dengan perspektif yang nggak sama lagi dengan waktu gue memulai perjalanan. Kenyataan itu membuat perasaan gue jauh lebih baik, ketimbang saat gue membanding-bandingkan diri gue sama orang lain. Hal ini membuat gue belajar bahwa you don't have to be better than anyone else, you just have to be better than the past "you".

Satu hal lagi yang sebenernya paling penting adalah pelajaran yang gue ambil dari Pengkotbah 3. Bahwa tiap-tiap hal ada masanya, ada waktunya masing-masing. Jadi gue nggak perlu sedih dan rendah diri di saat Tuhan memberikan berkat wisuda itu duluan ke teman-teman gue yang lain. Mungkin (atau bukan mungkin tapi pasti!) Tuhan punya rencana yang indah kenapa Dia kasih jalan gue sedikit lebih panjang. Yang perlu gue lakukan cuma berusaha untuk kasih yang terbaik, dan percaya. Gue harus mulai meletakkan semua kekhawatiran gue yang nggak penting, dan kasih Tuhan yang pegang kemudi. Gue percaya kelak waktu gue udah wisuda, gue akan mengerti why some things take longer journeys, sometimes detours too. Kelak gue akan mengerti apa yang dimaksud dalam ayat ini:




Pengkotbah 3:11
"Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir."


Ecclesiastes 3:11 (KJV)
"He hath made every thing beautiful in his time, also he hath set the world in their heart, so that no man can find out the work that God maketh from the beginning to the end."
















1 comment

  1. iya, emang gampang sih ngiri ke org lain, gua juga sering gitu, tapi pelan2 berkurang :)

    Gua pernah denger org bilang instead of iri kelebihannya, mending iri hardworkingnya dan lakuin itu aja. sering kali kan kita cuma lihat kesuksesan org lain, tanpa tahu keringat atau bahkan air mata di baliknya.

    trus gua suka banget kesimpulan lu yang bilang be a better you, daripada terus berusaha better than the other. Dengan begitu bisa terhindar dari byk jerat utk ngiri ke org lain.
    In some case menurut gua, kalo motivasinya bener boleh aja sih...dalam pelayanan penginjilan misnya. kalo seseorg dah pernah menginjili 1000 org, mnrt gua ok aja kalo lu mau menginjili >1000 org :)

    gua pernah denger di jerman ada bbrapa sekolah yang ngk pakai ranking2an, mnrt gua ada baiknya, jadi ngk banding2in ama org lain, tapi lebih bisa konsentrasi ke kerinduan dan panggilan masing2. banding2in ama org lain, misnya bandingin pendapatan bisa menyebabkan seseorg ngk melakukan apa panggilannya menurut gua.

    ReplyDelete