Pengampunan

Seringkali mayoritas masyarakat dewasa ini (dalam hal ini dengan menyesal gue sering termasuk ke dalamnya), mengartikan pengampunan sebagai suatu kenaifan atau lebih parahnya lagi, kemunafikan. Nggak perlu menampik, pada saat mendengar orang berkata, "Aku memaafkan si Anu", sering timbul pikiran seperti, "Dih, naif banget sih ini orang" atau "Ya elah munafik bener, pasti dalam hati masih dendam" di dalam diri kita. Fenomena kayak begini sih sebenernya manusiawi banget ya, di mana kita merasa bahwa pada saat seseorang disakiti hatinya atau dirampas haknya, ia akan sulit atau bahkan tidak bisa memaafkan orang yang sudah melakukan itu padanya. Memaafkan rasanya mustahil jadi perfect sense, terlebih ketika "luka" yang disebabkan seseorang itu teramat mendalam. Tapi yang jadi pertanyaan adalah, benarkah seseorang "dihalalkan" untuk tidak mengampuni sesamanya?

Sama kayak tulisan gue kemarin-kemarin, di sinipun gue nggak akan sok-sokan menggurui pembaca. Gue menarik pelajaran dari apa yang gue lihat di sekitar, dan dengan senang hati gue share di sini supaya kita sama-sama bisa belajar.

Hampir dua minggu yang lalu terjadi kasus menggemparkan di kota asal gue Jakarta, Indonesia. Sepasang muda-mudi yang masih berusia 19 tahun tega merencanakan pembunuhan (dan akhirnya membunuh, of course) teman seusia mereka secara sadis. Ketika membaca berita itu reaksi pertama gue tentu saja geram, dan geleng-geleng kepala. Gue nggak mampu ngebayangin 2 anak yang lebih muda dari gue bisa punya bakat algojo sedemikian rupa. Dengan perasaan geram (jujur waktu itu gue emang kesel banget) gue telusuri beritanya di salah satu situs. Seperti biasa tentunya kalo terjadi kasus-kasus demikian, para wartawan akan mengorek-orek keterangan dari keluarga, teman, sampai tetangganya tersangka dan korban. Salah satu artikel terpisah yang menggugah hati gue adalah wawancara dengan Ibu dari korban. Kata-kata beliau yang dipetik dalam berita tersebut berbunyi kira-kira begini:
"Kalau saya nggak berserah sama Tuhan, saya nggak kuat. Waktu dengar kabar anak saya, saya inget  banget Tuhan bilang pembalasan hak-Ku. Saya terngiang terus, saya berserah. Semua akan berpulang ke pencipta."

Gue jujur sempat melongo waktu baca tulisan itu. Sekedar mengingatkan, beliau adalah ibu dari seorang putri berusia 19 tahun, yang (seharusnya) punya perjalanan yang masih panjang di muka bumi ini, tapi perjalanannya harus berhenti karena dibunuh untuk alasan yang sebenarnya pun nggak jelas. Well, in my humble opinion gue harus bilang dia adalah salah satu IBU yang paling luar biasa yang pernah gue tau. Instead of teriak-teriak histeris menjambaki rambut ibu-ibu dari para tersangka, she hugs them. Untuk pertama kalinya gue melihat contoh nyata bahwa pengampunan sejati bisa diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Lalu kemudian pertanyaannya, apa yang mendasari beliau mengampuni orang-orang yang telah membunuh putrinya?

Gue dapat menyimpulkan bahwa yang pertama adalah cinta kasih. Di I Korintus 13 ayat 5 dibilang bahwa kasih itu tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Kedua adalah kesadaran dari ibu itu sendiri bahwa sebagai manusia ia tidak berhak melakukan pembalasan. Seperti yang dikutip di atas bahwa pembalasan adalah hak-Ku (kata Tuhan), ada tertulis di Roma 12 ayat 19:
19 Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan.
Dan yang ketiga adalah suatu kesadaran yang harus kita miliki sebagai orang percaya; bahwa jauh sebelum kita dilahirkan, Allah sudah duluan mengampuni kita. Ketika Allah itu sendiri sudah mengampuni pendosa kayak gue dan lo, layakkah kita menyimpan dendam sama sesama pendosa?

Gue tau mengampuni itu nggak gampang, gue sendiripun belum lulus ujian pengampunan karena acap kali gue masih menyimpan amarah terhadap orang yang menyakiti hati gue. Tapi sebagai pengikut  Kristus konsekuensinya adalah kita harus ikut pikul salib. Itu adalah bagian tersulit yang akan kita jalani selama masih hidup di dunia ini, dan mengampuni adalah salah satu di antaranya. Ketika kita belajar bertanggung jawab dan sukarela memikul salib Yesus, saat itulah kualitas kekristenan kita bertumbuh. Nggak mau kan kalo dibilang cuma jadi kristen KTP?

So, ayo mulai belajar mengampuni mulai dari sekarang dan meneladani kisah ibu di atas! Gue percaya saat kita menurunkan ego atau ke-aku-an kita masing-masing, saat itulah pengampunan datang dan damai tercipta di hati. Salam hangat musim semi dari Hamburg :)


Kolose 3:13
"Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian."

Colossians 3:13 (KJV)
"Forbearing one another, and forgiving one another, if any man have a quarrel against any: even as Christ forgave you, so also do ye."







1 comment