Anak Tuhan: Bentuk Sikap Elitist Sebagian Umat Kristiani?

Bagi yang dulu sekolah minggu di Indonesia mungkin familiar dengan lagu ini:

Satu anak Tuhan, pergi s'kolah minggu,
satu anak Tuhan bawa jiwa, pergi s'kolah minggu
Dua anak Tuhan, pergi s'kolah minggu,
dua satu anak Tuhan bawa jiwa pergi se'kolah minggu
Tiga anak Tuhan, pergi s'kolah minggu, 
tiga dua satu anak Tuhan bawa jiwa, pergi s'kolah minggu
etc., etc., (dinyanyikan sampe mabok menghitung atau sampe disuruh berhenti sama kakak guru sekolah minggu)

Sebagai penganut agama Kristen, sejak kecil kita sudah diajarkan bahwa ada satu identitas yang melekat dalam diri kita. Kita ini anak Tuhan. Kita umat pilihan. Kita dipilih untuk diselamatkan. The idea behind it seemed so innocent to me, until I recently felt kinda weird when someone called me "anak Tuhan."

Ceritanya begini, ada seorang ibu dari Indonesia, yang anaknya mau mulai sekolah di Jerman winter semester mendatang. Karena kebetulan universitasnya di kota tempat gue tinggal, dan si anak sampai sekarang belom ketemu Wohnung (apartment) yang pas, teman gue yang sudah kenal duluan dengan si Ibu memberi kontak gue ke si Ibu, supaya bisa tanya-tanya seputar akomodasi di sini.
Singkat cerita, gue dihubungi si Ibu (yang belakangan gue panggil dengan sebutan "Tante") lewat WhatsApp. Berhubung gue lagi nggak ada info apartment kosong, gue janji ke Tante untuk coba tanya-tanya di grup WhatsApp gereja. Ketika gue sebut tentang grup WhatsApp gereja, respon Tante jadi excited gimana gitu. Beliau bilang gini kira-kira "Wah senangnya, ternyata Asrida anak Tuhan juga ya."  

Hmmm, at the moment, I cringed so hard.

Eh, please don't get me wrong, ya. I'm sure there’s a good chance that si Tante is a really nice lady. In fact, kita udah janjian buat pergi gereja bareng bulan September nanti, waktu beliau antar anaknya ke sini. Mungkin sebagian dari kalian ada yang berpendapat, ya udahlah ya Asrida lebay bener sih lo. Emang kenapa sih kalo si Tante bilang lo anak Tuhan, salahnya di mana dah? Ya nggak apa-apa sih, you are all entitled to your own opinion, kok. Lagian gue di sini sama sekali tidak ada masalah sama si Tante secara pribadi (liat aja kita udah janjian mau gereja bareng, gitu.) Yang gue soroti di sini adalah, perlukah kita menekankan banget status ke"anak Tuhan"an itu, (hanya) karena kita orang Kristen? Bukankah dengan penekanan demikian, secara nggak langsung kita menempatkan yang bukan penganut ajaran Kristiani di luar golongan tersebut - i.e., bukan anak Tuhan?

Sebutan anak Tuhan ini bukan cuma dipakai orang Kristen untuk meng-eksklusif-kan diri mereka di antara yang bukan Kristen. Ada kalanya, orang Kristen dari satu denominasi gereja tertentu-pun, bisa merasa 'lebih anak Tuhan' ketimbang orang Kristen dari gereja lain. Ini kisah nyata yang terjadi pada sosok favorit yang sering gue sebut-sebut di tulisan gue, siapa lagi kalau bukan almarhumah nenek gue, a.k.a Opung Oma.

To those who knew her mungkin pada tahulah ya, bahwa she was a conservative HKBP-ist. Suatu ketika waktu gue masih SMP, dia pulang ke rumah dari pasar sambil ngedumel. Ternyata di pasar, dia bertemu satu saudara jauhnya yang gue panggil Opung juga (gue sejujurnya kurang paham gimana tali persaudaraan mereka). Saat mereka bertemu kebetulan ada satu orang Pendeta  (bukan HKBP) yang dikenal Opung Oma juga. Si saudara jauhnya Opung ini, yang kebetulan penganut Kristen Karismatik (tbh gue lupa nama gereja pastinya apa), katanya ngomong gini ke si Pak Pendeta:

"Pak, doakan Bapak dulu kakak-ku ini, supaya jadi anak Tuhan dia."

Sontak tersinggung, terkejut dan terheran-heranlah si Opung Oma mendengar ujaran sedemikian rupa. Gue yang di rumahpun jadi sasaran gerutunya,

"Anak ni ise ma dirippuni inanta on iba? Anak ni si bolis??" (batak: Anak siapa emangnya dikira ibu ini gue? Anaknya iblis?"

Sambil dengerin ceritanya, gue nyeletuk gini "Nah terus Opung jawab apa?"

"Ya kubilanglah, 'terima kasih bapak Pendeta, sudah anak Tuhan kok saya."

"Lho, tapi nggak papa dong harusnya tetep didoain? Nggak ada salahnya kan?"

"Ah, di ibana ma tangiang na i" ("Ah, buat dia sajalah doanya itu.")

Did you see what my point is? Gue tahu persis saat itu, ego Opung gue-lah yang sebenernya terluka waktu denger ujaran saudaranya soal masalah anak Tuhan itu. Seakan, jadi jemaat HKBP wasn't anak Tuhan enough. At least, that's how she interpreted the utterance, from her sole perspective. Seandainya tidak ada embel - embel anak Tuhan tadi, mungkin Opung gue setuju - setuju aja didoain. Namanya doa kan berkat yak, siapa coba yang nggak suka terima berkat? Sikap Opung gue menjadi sedemikian defensif, hanya karena bagian terakhir dari kalimat saudaranya tersebut. 

Gue membagikan cerita ini sama sekali bukan bermaksud menghakimi siapa-siapa. Apalagi, tiga tokoh dalam cerita lakon di pasar ini juga sudah berpulang ke pangkuan Bapa di surga semua. Gue percaya banget, tujuan saudaranya Opung itu sebenernya baik. Namun, penggunaan kata yang salah bisa mengakibatkan timbulnya jarak, dan yang lebih parahnya lagi, timbulnya perasaan dihakimi atau direndahkan pada pihak yang diajak bicara. Maka dari itu secara personal, sama seperti gue nggak suka ketika ada umat agama tertentu yang meng-kafir-kafirkan umat agama lainnya, gue juga dengan sangat berat hati mengatakan (because I know this is an unpopular opinion),  stoplah nyebut-nyebut diri lo anak Tuhan untuk meng-ekslusif-kan diri lo dari dunia ini. Apalagi kalau kelakuan lo juga belom bener-bener banget. Nggak salah sih menganggap diri anak Tuhan, after all, I believe we all are! Ungkapkanlah rasa gratitudemu sebagai anak Tuhan ke Pencipta-mu itu langsung, bukan menjadikannya alasan untuk merasa superior.

Piye? Yang tidak setuju sila komen :D

2 comments

  1. Asrida luar biasa pemikirannya sekarang,

    Setuju banget, kalo sifat - sifat ekslusif ini banyak menjangkit ke orang - orang Kristen, bahkan kalangan orang kristen pun bisa saling "meng-kafir-kan" kalo memang gak sealiran dengan bentuk ajarannya mereka..

    Serasa keselamatan berkat cuma di gerajanya doang, di gereja lain gak ada..

    Dannnnn masih banyak juga yang merasa eksklusif dengan keselamatan cuma ada di agamanya masing2, luass sih.. padahal apalah kita, just a speck of dust in this vast universe...

    But, IMHO.. penggunaan diksi "Anak Tuhan" juga gpp sih sebenernya kalo liat konteks dari ibu - ibu yang minta tolong sama asrida, menurut gua bukan bagian dari meng-eksklusif-kan diri, tapi lebih ke ikatan emosional kalo ternyata bisa ketemu dengan orang yang seiman, yang seajaran daann itu kan memang lingkup yang terbatas..

    Sama aja kan kalo "Oh, Asrida ternyata kristen juga", apakah itu suatu bentuk ke-eksklusifan juga? menurut aku sih enggak ya,,

    Tapi kalo konteksnya dari cerita ke-dua ya itu yang salah sih memang..

    Makanya balik lagi, intensinya apa, konteksnya apa, baru kita bisa simpulkan..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya mungkin soal cerita si tante gue sedikit agak too petty kali ya ger, tp saat itu gue mikirnya gini “wah si tante seneng karena tahu gue kristen, nah kalo gue non kristen apakah jadi mengurangi sukacita si tante berkenalan sm gue?

      Delete