Tes Sensitivitas; Menguji Seberapa Sensitifkah Anda

It's been a looong while since the last time I wrote something on my blog. Biasalah mandek ide, sampe akhirnya tiba-tiba nggak sengaja kepikiran bikin tes ini karena perkataan seorang teman. Ini tes sama sekali nggak scientifically proven, originally dibuat oleh penulis abal-abal yaitu diri gue sendiri. So don't take it too seriously :D

There are 7 questions with multiple choice answers. The sum scores will show you how sensitive you could be as a person:

1. Seberapa sering lo dicurhatin sama teman?
A. Hampir setiap saat kalo ketemu teman yang ada masalah pasti dicurhatin
B. Jarang karena gue kurang pinter kasih solusi
C. Kayaknya temen-temen gue nggak pernah punya masalah dan hidupnya baik-baik aja

2. Waktu lagi ngobrol berdua sama teman tiba-tiba wajahnya menjauh dari lo secara perlahan namun pasti. Yang ada di pikiran lo adalah:
A. Mungkin dia mau menatap wajah cakep gue dari posisi yang lebih sempurna
B. Mungkin mulut gue bau?
C. Mungkin gue ngomong terlalu kenceng dan dia bisa budek kalo duduk lama-lama deket gue

3. Kalo seseorang bilang dia lagi bete karena ujiannya dapet C, dan kemudian setelah itu kelakuannya jadi moody dan kayak nenek lampir. Yang lo lakuin adalah:
A. Nanya dia maunya apa tapi dengan sabar dan nggak pakai marah-marah
B. Ninggalin dia sampe dia tenang dulu dan arwah nenek lampirnya keluar
C. Beliin dia cokelat dan ngajak dia jalan ke disneyland (if it's possible :D)

4. Apa yang ada di pikiran lo waktu lihat anak kecil ngemis di jalan?
A. Orang tuanya di mana? Kasihan banget masih sekecil ini mesti cari uang sendiri
B. Dari kecil emang mesti ngerasain hidup susah biar gedenya bisa tough
C. Ngebayangin susahnya hidup anak itu dan berimajinasi seandainya lo bisa ngadopsi anak tersebut dan tanpa sadar air mata lo menetes membasahi pipi

5. Orang terpenting dalam hidup lo:
A. No doubt: orang tua
B. Pacar
C. Teman gaul haha hihi bareng

6. Waktu lagi berdua sama teman dan dia cerita sesuatu yang penting sama lo, sedangkan lo malah asik main sama smartphone baru. Tiba-tiba dia terdiam sejenak dan akhirnya lo notice dia nggak lanjut ngomong. Yang ada di pikiran lo?
A. Dia lagi mikirin apa lagi yang mau dia ceritain
B. Dia agak tersinggung karena lo nggak serius dengerin cerita dia
C. Dia udah capek nyerocos dari tadi

7. Saat teman meledek bagian tubuh atau sifat lo yang sebenarnya bikin lo rada insecure, tanggapan lo?
A. Ketawa aja
B. Ketawa dan bales ngejek teman tersebut
C. Ngomong ke si teman kalo lo nggak keberatan dibecandain asal bukan soal hal-hal yang menyenggol insecurity lo

8. Saat lo nggak punya makanan apa-apa di rumah selain roti yang udah kadaluarsa tapi belum jamuran dan karena laper lo terpaksa makan itu, maka (pertanyaan bonus):
A. Nggak sampe setengah jam lo bakal menci-menci (diare)
B. Nggak ada masalah sama sekali pada tubuh lo
C. Nggak ada masalah sama sekali dan besok-besoknya lo jadi ketagihan makan roti kadaluarsa



The Scores

1. A: 10%    B: 5%    C: 0%
2. A: 0%.     B: 10%  C: 15%
3. A: 10%    B: 5%    C: 20%
4. A: 10%    B: 0%    C: 15%
5. A: 15%    B: 5%    C:  5%
6. A: 5%      B: 10%  C:  0%
7. A: 5 %     B: 0%    C: 15%
8. Kalo jawabannya A berarti perut lo emang sensitif

Score 0%-40%: Lo orang tercuek di galaksi bimasakti
Lo salah satu manusia tercuek yang pernah berjalan di atas bumi ini. Positifnya, lo bukan termasuk orang yang gampang tersinggung. Orang kayak lo enak dijadikan teman, but somehow dalam hal tertentu orang suka ngalamin kesulitan di saat ketidakpekaan lo lagi kumat.

Score 45%-65%: Level sensitivitas lo menengah
Ibarat kata kalo lo adalah keripik yang pake level-levelan, maka lo adalah keripik yang pedesnya itu masih bisa ditolerir sama umat manusia.

Score 70%-100%: Sensitif akut
Lo punya sensitivitas yang tak terbantahkan. Lo bisa menebak apa yang ada dipikiran orang, walaupun orang tersebut belum ngomong apa-apa alias hanya lewat gesture atau tanda. Tapi jeleknya, tebakan lo bisa meleset jauh. Itu jeleknya orang yang kelewat sensitif. Hidupnya suka gloomy dan punya prasangka macam-macam, padahal kenyataannya nggak seburuk apa yang dia bayangkan. Tipikal ini juga sering disebut drama queen/ king. Jelek sih, tapi bagusnya tipikal orang kayak begini sangat penyayang dan sangat langka di era digital ini, oleh karena itu mereka wajib dilestarikan (I can proudly say that I am one of these people :D)


"When our sensitivity to feel pain decreases, so does our sensitivity to feel joy with it."
Johnson Bandi

The Rules of Dating (Me?)


Before I begin to write, I want to laugh at this kind of weird title. I don't know why I am supposed to write about this theme but it just came across my head and I thought it could be coming out as a cool stuff, since I have decided not to write such a "heavy" theme. So, just like the other entries I've written before, I hope this one can "inspire" you too :D

First of all I'd like to tell you a little secret: I am single, boyfriend-less, and you can add some other words or terms to describe someone like me. Well that's not a secret at all; everyone in the town knows I have no boyfriend. I'm not going to mourn and or telling you how awful my life is; I have an
awesome life, I have many friends around me, my family who support me, and God who loves me (and isn't it what people said, that good thing is worth waiting?)
But as a young woman in the beginning of twenties, sometimes I wonder how the guy that God has chosen for me would be. I am not specifically talking about physically things but also about his characters, and how they influence the way he views this life.

I will never know when God will trust me to build a deep relationship with a guy until the time arrives. For sure I will deepen my relationship with Him first, before I share my love with the man I'll later marry with. But I have some rules for the guy who (later) would be dating me (maybe some of these occur to any other christian women, too):

1. You must put God in the first place
As my boyfriend (or later a husband), you have to put God in your first priority. I put this as the first rule because it is absolutely important to love God who has create you first, before you commit to a relationship with another people (as I have mentioned before)

2. You are lovely and slow to anger
Once I had a friend who had a definitely handsome boyfriend and we were hanging out together. I haven't even finished admiring his handsomeness yet as I heard he grumbled about unimportant things; traffic jams, beggars. It sounded like he had hatred toward this world and everything in it. It seemed like he has never been satisfied. I don't want this kind of guy, even if he looks like Clooney.

3. You don't have foul mouth
This is very important and I don't even need to explain this further.

4. You love your family
Let me say that I am a kind of family oriented person. I love my family so much, and they have a very special part in my life. That's why it is important to me when you love your family too, and put your respect toward your parents.

5. You are a good leader
I know there are so many women who strive for women and men's equality in this world and at some points I am agree with them. But in a christian family as stated in the scripture, a husband is the head of his wife (For the husband is the head of the wife, as Christ also is the head of the church, being himself the saviour of the body, Ephesians 5:23)
So how can you be a good leader in your family? Go back to the point number one :)

6. You are wise and have self-respect
I have so many guy friends and everytime I get closer with them, one of the most important aspects I viewed on them is how they solve their problems and how they give advices to those who have problems. You can see whether someone is wise or not from the way he handles his life and how he gives advices. It is important too for a guy to have respect toward himself and being confident.

7. You are a good listener
Since I am a very talkative person it is important too to have someone who can listen to me and put some attentions in every single ideas I have :D

8. No pre-marriage sexual activities
If you know God and He has become the centre of your life, you should certainly know what the sins are and have commited yourself to stay away from them. Since for me, sex is a sacred thing that can only happen between a husband and a wife who have said their vows in front of God.


Pengampunan

Seringkali mayoritas masyarakat dewasa ini (dalam hal ini dengan menyesal gue sering termasuk ke dalamnya), mengartikan pengampunan sebagai suatu kenaifan atau lebih parahnya lagi, kemunafikan. Nggak perlu menampik, pada saat mendengar orang berkata, "Aku memaafkan si Anu", sering timbul pikiran seperti, "Dih, naif banget sih ini orang" atau "Ya elah munafik bener, pasti dalam hati masih dendam" di dalam diri kita. Fenomena kayak begini sih sebenernya manusiawi banget ya, di mana kita merasa bahwa pada saat seseorang disakiti hatinya atau dirampas haknya, ia akan sulit atau bahkan tidak bisa memaafkan orang yang sudah melakukan itu padanya. Memaafkan rasanya mustahil jadi perfect sense, terlebih ketika "luka" yang disebabkan seseorang itu teramat mendalam. Tapi yang jadi pertanyaan adalah, benarkah seseorang "dihalalkan" untuk tidak mengampuni sesamanya?

Sama kayak tulisan gue kemarin-kemarin, di sinipun gue nggak akan sok-sokan menggurui pembaca. Gue menarik pelajaran dari apa yang gue lihat di sekitar, dan dengan senang hati gue share di sini supaya kita sama-sama bisa belajar.

Hampir dua minggu yang lalu terjadi kasus menggemparkan di kota asal gue Jakarta, Indonesia. Sepasang muda-mudi yang masih berusia 19 tahun tega merencanakan pembunuhan (dan akhirnya membunuh, of course) teman seusia mereka secara sadis. Ketika membaca berita itu reaksi pertama gue tentu saja geram, dan geleng-geleng kepala. Gue nggak mampu ngebayangin 2 anak yang lebih muda dari gue bisa punya bakat algojo sedemikian rupa. Dengan perasaan geram (jujur waktu itu gue emang kesel banget) gue telusuri beritanya di salah satu situs. Seperti biasa tentunya kalo terjadi kasus-kasus demikian, para wartawan akan mengorek-orek keterangan dari keluarga, teman, sampai tetangganya tersangka dan korban. Salah satu artikel terpisah yang menggugah hati gue adalah wawancara dengan Ibu dari korban. Kata-kata beliau yang dipetik dalam berita tersebut berbunyi kira-kira begini:
"Kalau saya nggak berserah sama Tuhan, saya nggak kuat. Waktu dengar kabar anak saya, saya inget  banget Tuhan bilang pembalasan hak-Ku. Saya terngiang terus, saya berserah. Semua akan berpulang ke pencipta."

Gue jujur sempat melongo waktu baca tulisan itu. Sekedar mengingatkan, beliau adalah ibu dari seorang putri berusia 19 tahun, yang (seharusnya) punya perjalanan yang masih panjang di muka bumi ini, tapi perjalanannya harus berhenti karena dibunuh untuk alasan yang sebenarnya pun nggak jelas. Well, in my humble opinion gue harus bilang dia adalah salah satu IBU yang paling luar biasa yang pernah gue tau. Instead of teriak-teriak histeris menjambaki rambut ibu-ibu dari para tersangka, she hugs them. Untuk pertama kalinya gue melihat contoh nyata bahwa pengampunan sejati bisa diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Lalu kemudian pertanyaannya, apa yang mendasari beliau mengampuni orang-orang yang telah membunuh putrinya?

Gue dapat menyimpulkan bahwa yang pertama adalah cinta kasih. Di I Korintus 13 ayat 5 dibilang bahwa kasih itu tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Kedua adalah kesadaran dari ibu itu sendiri bahwa sebagai manusia ia tidak berhak melakukan pembalasan. Seperti yang dikutip di atas bahwa pembalasan adalah hak-Ku (kata Tuhan), ada tertulis di Roma 12 ayat 19:
19 Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan.
Dan yang ketiga adalah suatu kesadaran yang harus kita miliki sebagai orang percaya; bahwa jauh sebelum kita dilahirkan, Allah sudah duluan mengampuni kita. Ketika Allah itu sendiri sudah mengampuni pendosa kayak gue dan lo, layakkah kita menyimpan dendam sama sesama pendosa?

Gue tau mengampuni itu nggak gampang, gue sendiripun belum lulus ujian pengampunan karena acap kali gue masih menyimpan amarah terhadap orang yang menyakiti hati gue. Tapi sebagai pengikut  Kristus konsekuensinya adalah kita harus ikut pikul salib. Itu adalah bagian tersulit yang akan kita jalani selama masih hidup di dunia ini, dan mengampuni adalah salah satu di antaranya. Ketika kita belajar bertanggung jawab dan sukarela memikul salib Yesus, saat itulah kualitas kekristenan kita bertumbuh. Nggak mau kan kalo dibilang cuma jadi kristen KTP?

So, ayo mulai belajar mengampuni mulai dari sekarang dan meneladani kisah ibu di atas! Gue percaya saat kita menurunkan ego atau ke-aku-an kita masing-masing, saat itulah pengampunan datang dan damai tercipta di hati. Salam hangat musim semi dari Hamburg :)


Kolose 3:13
"Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian."

Colossians 3:13 (KJV)
"Forbearing one another, and forgiving one another, if any man have a quarrel against any: even as Christ forgave you, so also do ye."







Indah Pada Waktunya


Belakangan ini, gue sedang terkena sindrom (rada) males buka timeline akun social media terutama facebook. Asal muasalnya karena beberapa bulan terakhir ini gue sering mendapati post-post temen seangkatan gue (baik yang temenan di SD, SMP ataupun SMA) yang lagi sibuk berkutat dengan skripsi, bahkan beberapa di antaranya sudah wisuda. Status-status seperti, "Ahh.. Lagi-lagi harus revisi", atau "Yay!! Akhirnya skripsi diterima..", atau kayak "Mama, Papa.. Akhirnya aku penuhi janji untuk lulus sebagai sarjana!" rasanya bikin gue sedikit sensi. Maklum aja, sebagai rekan sejawat mereka dulu dalam bermain lompat tali, gue belum punya prestasi akademik apa-apa yang bisa dibanggain, kayak mereka. Perasaan iri kadang jadi nggak bisa terelakkan; manusiawi.

Di waktu temen-temen gue udah sibuk ngerancang kebaya buat wisuda, gue bahkan belum memulai tahun pertama gue di Uni. Terkadang datang perasaan nyesek mengingat umur gue yang makin hari makin tua bukan makin muda. Penyesalan-penyesalan yang dulunya nggak pernah terpikirkanpun perlahan-lahan menghampiri. Kenapa dulu gue nggak begini, kenapa dulu nggak begitu. Kenapa dulu ambil jalan A, kenapa nggak ambil jalan B. Hal-hal kayak gini sometimes bikin gue jadi down sendiri, dan mulai berpikir negatif.

Kira-kira sebulan yang lalu gue terlibat obrolan dengan salah seorang teman baik gue di SMA via skype. Dia juga lagi study di Jerman, cuma beda kota sama gue. Persis kayak gue, dia harus ngelewatin tahap sekolah bahasa dan Studienkolleg dulu, sebelum mulai kuliah di universitas. Awalnya kita ngobrol tentang masa bodoh-bodohnya kita waktu SMA; main bareng, nongkrong bareng, ngatain orang bareng (dan kelakuan-kelakuan kurang terpuji lainnya), sampe akhirnya gue cerita tentang salah seorang temen baik kita juga yang udah wisuda. Habis cerita, gue nanya gini ke temen gue, "Tan (namanya Tania), lo suka ngerasa kayak rendah diri gitu nggak sih karena telat lulus kuliah dibanding temen yang lain?"
Si Tania ketawa. Trus dia jawab, "Ah nggaklah.. Emang lo iya, Jan?(anak sekelas gue manggil gue dulu Janda dan jangan tanyakan mengapa)" Gue mengangguk lirih. Si Tania ketawa lagi. "Lah ya ngapain sih Jan? Kita semua kan ada rejeki masing-masing. Temen-temen bisa kelar duluan kuliahnya, nah kita puji Tuhan bisa ngerasain belajar di negeri orang. Lagian kan kita harus belajar bahasa baru dulu, penyetaraan dulu, jadi wajar dong kalo kita agak telat lulusnya.."

Di satu sisi gue mengerti dan bisa menerima argumen si Tania, di mana guepun menyadari bahwa semua ini udah jadi pilihan gue. Guelah yang milih buat nganggur ga kuliah setahun, di saat bokap udah suruh gue buat kuliah aja di universitas swasta. Gue juga yang milih buat setahun belajar bahasa di Jerman, belajar kultur dan segala tetek bengeknya. Seharusnya gue nggak perlu menyesali itu semua, gue hanya perlu menata kehidupan gue ke depannya. Tapi sebagai manusia yang masih hidup dalam daging, sifat-sifat kedagingan seperti iri hati, negatif thinking, over worrying masih suka datang menghampiri. Kebiasaan gue yang membanding-bandingkan diri ke orang lain ("Dulu gue juara kelas dan dia masuk sepuluh besar juga nggak, kok bisa 3.5 tahun dia udah jadi sarjana?") itulah sebenarnya yang merupakan racun yang bikin gue jadi tawar hati. Kecenderungan berpikir negatif itu yang bikin gue males tiap kali mendapati kenyataan bahwa temen-temen gue bakal wisuda dalam waktu dekat. Instead of happy for them, gue malah merutuki nasib gue sendiri yang menurut gue masih "stuck" di situ-situ aja.

Namun setelah gue pikirkan lebih dalam lagi, gue makin sadar bahwa sebenernya nggak ada gunanya memelihara perasaan negatif kayak begitu. Dan perasaan itu, gue yakin nggak akan muncul kalau gue bisa menghargai diri gue sendiri. Kalau gue melihat ke belakang; di antara titik di mana gue pertama memulai perjalananan setelah lulus SMA dan titik di mana gue berdiri sekarang ada terbentang jarak. Dan jarak itulah yang menunjukkan bahwa gue bergerak dan bukan stagnan. Pada jarak itulah gue jatuh dan bangun, jatuh dan bangun lagi. Saat menempuh jarak itulah gue banyak belajar, gue banyak ketemu orang-orang baru yang menarik, melihat dunia dengan perspektif yang nggak sama lagi dengan waktu gue memulai perjalanan. Kenyataan itu membuat perasaan gue jauh lebih baik, ketimbang saat gue membanding-bandingkan diri gue sama orang lain. Hal ini membuat gue belajar bahwa you don't have to be better than anyone else, you just have to be better than the past "you".

Satu hal lagi yang sebenernya paling penting adalah pelajaran yang gue ambil dari Pengkotbah 3. Bahwa tiap-tiap hal ada masanya, ada waktunya masing-masing. Jadi gue nggak perlu sedih dan rendah diri di saat Tuhan memberikan berkat wisuda itu duluan ke teman-teman gue yang lain. Mungkin (atau bukan mungkin tapi pasti!) Tuhan punya rencana yang indah kenapa Dia kasih jalan gue sedikit lebih panjang. Yang perlu gue lakukan cuma berusaha untuk kasih yang terbaik, dan percaya. Gue harus mulai meletakkan semua kekhawatiran gue yang nggak penting, dan kasih Tuhan yang pegang kemudi. Gue percaya kelak waktu gue udah wisuda, gue akan mengerti why some things take longer journeys, sometimes detours too. Kelak gue akan mengerti apa yang dimaksud dalam ayat ini:




Pengkotbah 3:11
"Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir."


Ecclesiastes 3:11 (KJV)
"He hath made every thing beautiful in his time, also he hath set the world in their heart, so that no man can find out the work that God maketh from the beginning to the end."
















Siapakah Aku Ini Tuhan?

Holla! Hari ini hampir tengah malam gue menulis satu pos yang mungkin nggak akan terlalu panjang di blog ini. Jujur gue suka merasa ada dorongan untuk menulis sesuatu tentang Tuhan dan relasi gue dengan Tuhan sendiri, tapi baru kali inilah gue "memberanikan diri" menuliskannya, tepat setelah gue saat teduh.

Beberapa hari yang lalu, 2 teman baik gue Kezhia dan Devi ngajak gue main ke apartemen mereka. Dua-duanya bersama salah satu temen kita yang lain Melky agaknya menunjukkan kekhawatiran terhadap sikap gue yang belakangan jadi ansos. Memang guepun bingung sama kelakuan diri sendiri, yang cenderung lebih suka sendirian ketimbang ngumpul sama teman. Memang terkadang ada saat di mana kita butuh waktu untuk diri kita sendiri, tapi pada satu level tertentu kadang ke "solitude" an kita itu bisa berdampak negatif juga. Gue menyadari, dengan (hampir) menutup pergaulan gue terhadap lingkungan luar (dalam hal ini temen-temen student, temen-temen Indo dan jemaat gereja) secara nggak langsung menghambat pertumbuhan iman gue juga.

Sabtu gue datang ke apartemen mereka dengan misi memasak Rawon. Kezhia yang lagi nggak enak badan dan Devi yang lagi galau habis mimpi kedua mantannya (hahahaha) tetap menyambut gue sekalipun keadaan mereka nggak terlalu okay hari itu. Kita masak, cerita, makan, ketawa-ketawa, sharing dan akhirnya waktu memaksa gue harus pulang. Sebelum pulang kita janjian untuk besoknya pergi gereja ke International Baptist Church.

Besoknya kitapun pergi ke gereja. Gue dan Devi yang baru pertama ikut kebaktian di sana terkagum-kagum dengan khotbah dan pujian penyembahannya. Di jalan pulang pun kita masih nggak henti-henti memuji community yang baru aja kita temukan ini. Di rumah, Devi cerita soal kesedihan hatinya karena mantan pacarnya udah jadian lagi alias udah move on. Gue bisa merasakan kegalauan dia karena ngebayangin mantan gue move on gue mungkin bisa nangis darah. Tapi gue lihat begitu Devi ngandelin Tuhan banget di dalam kehidupannya, sehingga dia bisa lebih plong walau masih
keinget memori bareng mantan yang pacaran dengan dia selama 3 tahun. Untuk mengalihkan perhatian kita browsing-browsing sekolah dan denger khotbah Francis Chan dari Youtube.

Waktu denger khotbah tiba-tiba Devi bilang, "Oh ya Asrida kamu harus baca buku ini," sambil ngasih buku berjudul "Crazy Love" yang ditulis Francis Chan. Gue yang emang suka baca buku tentang cinta-cintaan langsung menyambut dengan mesra buku tersebut dan membawanya ke rumah buat dibaca.

Ternyata bukan cinta picisan biasa yang dibahas di dalamnya.

Buku yang baru gue baca 2 bab pertamanya itu sampai sekarang masih ada di meja belajar gue, persis di sebelah gue ngetik sekarang. Buku yang udah duluan bikin Devi nangis waktu dia membacanya, seperti ngebuka mata gue tentang relationship gue sama Tuhan, bahkan saat gue masih sampai di dua bab pertamanya. Buku yang menggambarkan betapa besarnya Allah itu; yang mendorong gue menulis judul entry ini: "Siapakah Aku ini Tuhan?" Gue seperti dihentakkan tiba-tiba, ditampar
dengan kenyataan bahwa "Asrida, lo ini kecil. Di mata Tuhan lo ibarat capung, atau mungkin sebutir pasir di pantai." Bayangin kalo lo ngambil satu ember kecil pasir di pinggir pantai, apa akan ngubah pantai tersebut? Apa tiba-tiba angin ribut datang dan tsunami dan sebagainya? Nggak.. Lo bayangin sekarang kalo kita cuma sebutir dari pasir di dalam ember kecil tersebut. We are nothing towards Him.

Gue menyadari sikap ansos gue selama ini bukan hanya kesombongan gue terhadap teman-teman gue, tapi juga kesombongan gue terhadap Allah itu sendiri. Gue secara nggak langsung pengen menunjukkan bahwa gue bisa tanpa bantuan siapa-siapa, gue survive tanpa Dia and I am okay with it. Dan itu salah besar, gue salah besar dan lebih buruknya lagi nggak ada bener-benernya sedikitpun dari apa yang gue pikirin itu. Tapi kabar baiknya, Tuhan masih, dan akan tetap sayang gue dan mau gue sama-sama dengan-Nya.
Agaknya Tuhan menyadarkan gue lewat dua teman gue yang manis dan selalu memotivasi gue buat membangun relasi yang mesra dengan-Nya. Lewat buku Francis Chan, lewat tulisan-tulisan beliau yang begitu to the point, gue tersadar dari kekeliruan terbesar gue yang selama ini sering gue ingkari; perasaan bahwa gue penting, dan bukan Tuhan yang penting.

Beliau menganalogikan kehidupan ini sebagai film, di mana Tuhan sebagai pemeran utamanya. Manusia yang sekarang hidup, nenek-nenek moyang kita yang sudah nggak ada, Abraham Lincoln, Petrus, Daud, Elia, Yakub, Nuh, Adam dan Eva, semuanya kita hanyalah figuran yang tampil di film kehidupan ini sebentar saja; mungkin 2.5 detik dari durasi film. Jadi betapa bodohnya kalau kita; gue dan lo semua merasa diri penting dan "menuhankan" urusan kita masing-masing dan bukan Tuhan. Gue tersadar betapa picik gue selama ini; dalam berdoa, dalam meminta sama Tuhan. Terkesan gue ingin Tuhan takes control atas hidup gue, padahal sebenarnya gue lah yang mau take control atas hidup gue sendiri.

Tapi satu hal yang luar biasa dari Tuhan kita, di antara semua keluarbiasaan-Nya tersebut adalah bahwa gue, lo, kita butiran pasir di pantai ini berharga di matanya. Dia sayang sama kita, Dia menginginkan kita, dan di atas itu semua Dia mau kita lepas dari dosa dan balik sama Dia. Gue nggak tahu apa Raja-raja di dunia ini mengasihi rakyat mereka seperti Allah kasih sama kita? Dia bahkan jauh melebihi Raja-raja dunia, tapi Dia cinta sama kita. Kenyataan itu gue harap membuat kita semua makin merasa rendah. Tapi merasa rendah jangan menghalangi kita untuk datang ke hadirat-Nya. Malah, kita harus makin giat menaikkan puji-pujian dan hormat syukur. No, bukan karena kita orang baik dan religius. Tapi yes, karena Tuhan udah lebih dulu sayang sama kita, bahkan saat kita masih di rahim ibu kita.

Mungkin hidup yang akan gue jalani ke depannya nggak akan luput dari tantangan, sama seperti gue tadi bilang post ini nggak akan panjang tapi akhirnya jadi panjang, gue nggak punya kendali atas semuanya yang ada di atas bumi ini. Dia yang punya. Maka gue cuma berharap bahwa selama kita masih bernapas, biarlah semua yang kita lakukan hanya demi kemuliaan-Nya. Dan semoga, gue berhenti jadi ansos :D


I Korintus 10:31
"Aku menjawab: jika engkau makan dan jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah."



Note:
*ansos: anti sosial











Why We Should Stop Using The Terms "Ayah-Bunda" While Dating

Well buat gue ini topik menarik.

Di kalangan anak muda Indonesia jaman sekarang, kita pasti pernah denger istilah "Ayah-Bunda", "Mama-Papa", "Abi-Umi" dan sebangsanya, dipakai oleh pasangan muda yang sedang berkasih-kasihan (baca: pacaran), untuk menjadi panggilan sayang terhadap satu sama lain. Jujur gue risih sama yang kayak gini, dan beberapa hari yang lalu, gue mendapati bahwa gue bukan satu-satunya manusia di bumi ini yang risih sama trend panggilan sayang yang satu ini.

Semua bermula dari adegan pendek di sebuah film Indonesia yang baru-baru ini gue tonton. Sebagai anak Indo yang lagi terdampar di negeri Tante Angela Merkel, gue suka mengobati kekangenan gue terhadap tanah air dengan menonton film Indonesia yang (menurut gue cukup) berkualitas. Film ini ber-genre komedi romantis, di mana sang pemeran utama berperan sebagai stand up comedian (tau kan stand up comedian?) yang lagi bercerita soal kisah cintanya yang rada-rada mengenaskan. Di antara penonton yang hadir (setting lokasi: restoran), ada sepasang kekasih muda (kelas 10 SMA) yang sedang bermesraan dan sesekali menimpali si stand up comedian tadi.

Sekarang gue sampe ke bagian (yang menurut gue) menarik dalam film tersebut. Si stand up comedian, sebut saja SUC (gue nggak ada ide dalam bikin inisial nama orang :D) bertanya kepada pasangan muda yang berbahagia tadi;


SUC: "Lo panggilan sayangnya berdua "Ayah-Bunda"?"

Si Cewek: "Iy4h, 3mank ken4pah?" (Gue tergoda untuk menggambarkan si cewek ini se-alay mungkin -.-)

SUC: "Itu panggilan buat orang yang lo sayang kan? Kok palsu?"


Nah sampai di situ. Waktu nonton adegan tersebut, gue ngerasa se-paham sama stand up comedian dalam film tadi. Bukan bermaksud sinis sama ABG (anak baru gede) yang pacaran, tapi sampai detik ini gue masih nggak ngerti logika apa yang ada dalam pikiran orang yang pertama punya ide menciptakan trend panggilan sayang tersebut. Maksud gue, kenapa bisa panggilan yang biasa digunakan orang yang udah berrumah tangga, dipakai dalam konteks berpacaran.

Berdasarkan penelitian kecil-kecilan yang gue buat, kebanyakan ide memanggil "Ayah-Bunda" dan sebagainya tersebut tercetus dari pihak si cewek (perempuan). Some girls think it's cute to call their boy "Ayah" instead of his name or any other nicknames. Gue bisa mengerti bahwa cewek cenderung lebih memakai perasaannya ketika sedang dalam hubungan, ketimbang sang cowok. Saat kita berbunga-bunga dan merasa pilihan hati kita itulah yang terbaik dan segalanya di muka bumi ini, kita
suka lupa sama beberapa hal. Dalam kasus panggil memanggil "Ayah-Bunda" ini, si cewek lupa, bahwa pasangan yang dia punya itu adalah PACARNYA dan bukan SUAMINYA.

Jadi kenapa kita harus stop untuk pakai istilah "Ayah-Bunda" dan sebangsanya selama kita masih berpacaran?

Pertama seperti yang tercetus dalam dialog pendek dari film tadi. Untuk kasih panggilan ke orang yang lo sayang, harusnya lo nggak ngasih sesuatu yang "palsu". Segimanapun juga cintanya kita ke pacar dan sejauh apapun imajinasi kita melayang-layang tentang rencana masa depan kita bersama si dia, kita masih belum terikat dalam pernikahan. Panggilan yang selayaknya digunakan dalam konteks pasangan yang sudah menikah (dan memiliki anak) tentu aja nggak cocok untuk dipakai dalam konteks berpacaran. Dalam hal ini: PALSU.

Dengan pacar gue terakhir (sekarang sudah jadi mantan) gue punya panggilan sayang yang menurut
gue cukup lucu. Pertama, kita memanggil nama masing-masing tapi bukan dengan nama panggilan yang biasa dipakai sama teman yang lain. Kebetulan gue punya 3 nama panjang plus 1 marga, dan dia punya 4 nama panjang plus 1 fam (marga dalam suku Manado). Jadi, dia manggil gue dengan nama yang nggak pernah dipakai orang lain buat memanggil gue, dan guepun sebaliknya begitu ke dia. Spesial, tapi nggak bikin kita jadi orang lain juga, karena nama yang kita pakai itu emang ada dalam nama panjang kita.
Kedua kita pakai sesuatu yang berbau "fisik". Bukan dalam konteks mengejek dan mencela, gue suka panggil dia "buncit" dan dia panggil gue "tembem". Dan itupun simply karena dia (sedikit) buncit, dan gue (sangat) tembem. Jadi, nggak ada kepalsuan kan?

Alasan kedua kenapa kita harus stop pakai panggilan "Ayah-Bunda" dalam berpacaran, adalah karena kita nggak tau pasti dengan siapa kita bakal berjodoh kelak.
Sebagai orang yang percaya sama Tuhan, kita juga percaya dong bahwa jodoh itu di tangan Tuhan? Dengan kepercayaan tersebut, artinya kita kan meletakkan sepenuhnya masa depan kita di tangan Tuhan, termasuk masa depan kita sama pacar yang kita sayang tadi. Kalo Tuhan berkehendak beda sama rencana lo, dan kalian harus nemu jodoh masing-masing di tempat lain, isn't that awkward when you both meet once somewhere and remember that you used to call each other "Ayah-Bunda", sedangkan si dia sekarang udah jadi "Ayah"-nya yang lain atau "Bunda"-nya yang lain?

So guys, before you marry, the only woman whom you have to call "Bunda" is your own Mother, and girls, the only "Ayah" you have in this world before you marry someone is your Father.
Cewek harus lebih bijak dalam ngasih panggilan sayang ke pacarnya, dan cowok harus lebih tegas dalam menolak kalau pacarnya keliru dalam mengekspresikan kasih sayang. Karena walau bagaimanapun, nobody's perfect, kan?

Sekian dulu soal tema "Ayah-Bunda", semoga memberi pencerahan buat yang membaca, terutama pasangan muda yang sedang berkasih-kasihan. Liebe Grüße aus Hamburg *mwah ;)





Why I Should Make a New Blog

Ini bukan blog pertama gue. Pertama buat blog, waktu gue masih SMA kelas 2, dan alasan bikin blognya itu cuma buat ikut-ikutan sama teman. Karena cuma itulah alasan yang bisa terpikir waktu itu, jadilah gue "mengisi" blog tersebut dengan malas-malasan. Kesibukan sekolah juga bikin makin nggak punya waktu buat ngurus hal "remeh temeh" bernama blog.

Pada dasarnya gue suka nulis. Nulis itu salah satu hobi gue, di samping makan dan ngomong. Dari kecil udah suka nulis; di tembok rumah, dan sampe akhirnya bokap beliin gue buku tulis banyak banget. Waktu temen-temen di TK masih asyik main ayunan, gue udah (sok) asyik nulis.
Yang gue tulis macem-macem. Mungkin waktu TK gue masih menulis dengan tulisan yang nggak bisa dibaca sama kaum manusia; tapi semenjak menginjak kelas empat SD, gue mulai menulis sesuatu yang bisa diterima akal sama orang di sekeliling gue.

Kenapa gue suka nulis?

Pertama, karena gue hobi ngomong. Selalu punya hal atau topik di dalam kepala lo tanpa membagikannya ke orang lain, rasanya nggak enak banget buat gue. Entah kenapa, kepala ini selalu punya sesuatu yang baru setiap harinya, yang bikin gue pengen cepat-cepat ngebagiin itu ke orang lain. Itulah kenapa gue suka ngomong; dan itu juga kenapa gue benci peribahasa "Tong kosong nyaring bunyinya" waktu SD. Soalnya gue nyaring -.-
Tapi terkadang, gue menemukan kendala dalam berbicara. Karena suka nggak bisa mengatur kapan harus mengambil napas waktu lagi ngomong (baca: kalo ngomong gue suka lupa bernapas), gue suka kecapekan waktu ngomong. Dan itu nggak enak banget. Karena itu, gue mencoba cara lain untuk berbagi informasi tanpa harus kehabisan nafas, yaitu menulis.

Kedua, waktu masih kecil gue tinggal bareng Nenek (baca: Opung Boru) gue yang strict abis. Nyokap meninggal waktu gue umur tujuh, makanya gue, adik, sama bokap tinggal bareng Nenek.
Beliau ini orangnya strict banget (udah gue bilang kan?), dan didikannya itu sistem Belanda abis.
Nah, entah sistem Belanda bagian mana yang diadopsi beliau, yang jelas bokap dilarang untuk beliin TV buat kita di rumah. Alhasil, gue dan adik menghabiskan sebagian besar masa kecil kita tanpa televisi.

Dengan nggak adanya TV, kita dituntut buat lebih kreatif lagi dalam mencari hiburan, dan tentunya informasi. Informasi itu akhirnya kita dapat dengan membaca. Ke manapun kita pergi, buku selalu ada di tangan. Selain itu, kita juga langganan majalah anak-anak yang selalu punya artikel bermanfaat buat kita baca.
Adik gue itu seniman abis. Dia 3 tahun lebih muda dari gue, dan jago banget menggambar/ melukis. Jadi, dia menghabiskan banyak waktu luang di rumah juga dengan menggambar sketsa-sketsa cewek berkaki panjang dan baju berjumbai-jumbai. Sedangkan gue kebalikannya. Orang nggak bakal bisa ngebedain mana gambar kuda dan mana gambar kucing, kalo gue yang gambar. Karena nggak bakat gambar itulah, gue lebih suka nulis. Gue suka nulis cerita pendek, atau imajinasi gue tentang orang atau hal yang ada di sekeliling gue, gitu.

Kenapa gue memutuskan untuk menulis blog (lagi)?
Itu karena beberapa hari belakangan ini, suka ada ide-ide yang terlintas gitu aja di pikiran gue. Beberapa hari libur (sebenernya lagi nunggu waktu buat ujian Studienkolleg) bikin gue ngerasa kurang produktif. Gue suka tidur larut malam dan bangun siang, tanpa ada sesuatu yang berguna yang gue lakuin pada waktu bangun. Itu bikin perasaan bersalah muncul di permukaan; bukan perasaan bersalah sama orang lain, tapi lebih ke perasaan bersalah sama diri sendiri. Ngerasa bertanggung jawab sama diri sendiri, untuk bikin hidup jadi lebih berkualitas.

Gue nggak bilang kalo kita harus ngelakuin hal-hal keren supaya hidup jadi berkualitas. Tapi menurut pandangan gue, hidup itu akan jadi lebih berarti dan berkualitas, kalo kita bisa berbagi sama orang lain. Kita bisa belajar bersama orang lain, dan membagikan pengetahuan kita ke orang yang mungkin belum tahu. Rasanya jauh lebih berarti jika ada 1 orang aja yang membaca tulisan lo dan menjadi "mengerti", ketimbang nggak ngelakuin apapun dalam menjalani hari-hari lo. Itulah alasan gue mau
nulis dan publish tulisan gue lagi di sebuah blog; "Berbagi". Semoga setan malas tidak datang kembali menghantui. Semoga...