12112019

A short argumentative essay on Physician Assisted Suicide (PAS)


Should patients with certain conditions like terminal illnesses, unbearable mental or physical suffering be given the right to choose between life and death? Although the topic remains controversial in most parts of the world, Physician Assisted Suicide (acronym PAS) has been legalised in some countries. The number of PAS death has been increasing in these past couple of years in the Netherlands since its legalisation in the country. A non profit organisation in Switzerland called Dignitas has been providing assisted or accompanied suicide to its members, both Swiss and foreign citizens. It even became the subject of a US documentary film called “Suicide Tourist”. Although it has been successfully legalised in these countries mentioned, the arguments that support PAS represent bad moral reasoning, flawed policy and indicate failure in providing palliative care.

Proponents argue that PAS is an act of compassion since it helps the patient end his suffering by terminating his life. This argument shows fallacy at its core because it fails to differentiate between the suffering (or the pain) with the person who suffers. To end someone’s pain is not the same as to end someone’s life. A patient has right to reject certain medical treatments which cause him pain (e.g chemotherapy) even if it might hasten the death, but it is not the same thing as a physician injecting lethal substances into the patient’s body. Killing someone else or oneself is an offence against human, because it harms the intrinsic good of all human beings, which is the life itself. Both physicians and patients have moral obligations to preserve human’s life, not to destroy it.

PAS advocates individual autonomy, but we have to take into consideration the fact that some people might consider to end their lives out of desperation and vulnerability, because they fear that they have become a burden to those around them. In this case, having PAS legalised does not support the individual autonomy, like the proponents intend to. We also need to bear in mind that although some degree of autonomy is necessary in order for people to lead a responsible life, law often limits a person’s liberty freedom with the goal to protect the person himself and the society he is in, for example the prohibition of drunk driving and the obligation to put seatbelts on while driving. Making PAS permissible for people with certain conditions today gives the possibility for people with different conditions to demand the same right tomorrow.

Instead of trying to legalise PAS and makes it easily accessible, we should re-direct our energy into improving the quality of palliative care. Palliative care means therapies or treatments without curative intent, when no cure can be expected. We have to make sure that the dying patients receive the kind of care they are needing and are treated with the most dignified manner possible. Thanks to the modern medicine, it is possible now to alleviate the pain, so the patient won’t suffer too much. It is also important to assure the patients that they are not a burden to their families and friends and for their loved ones to show them support through hard times.

-Hutasoit-


References:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5102187/
https://www.cato-unbound.org/2012/12/14/patrick-lee/say-no-physician-assisted-suicide
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2585714/
https://en.wikipedia.org/wiki/Palliative_care

Berjuang

Saat ini ribuan mahasiswa di beberapa kota di Indonesia berjuang turun ke jalan untuk menentang disahkannya undang-undang yang disinyalir bukannya menertibkan tatanan hidup masyarakat namun malah merugikan. Dari ribuan mahasiswa itu ada adik gue turut di dalamnya, bersama teman-teman mahasiswa dan 5 orang dosennya. Gue yang cuma bisa menyaksikan lewat berita hanya bisa berharap semoga demonstrasi yang mereka lakukan berjalan damai, tepat sasaran dan efektif. Adik gue dengan darah muda yang menggebu-gebu tentunya membuat orang tua dan keluarga besar gue agak khawatir. Mungkin karena demo yang dilihat keluarga gue di Jakarta yang jadi cenderung anarkis, mereka punya konsepsi yang berbeda mengenai demo yang sekarang terjadi, dengan apa yang sebenarnya menjadi tujuan para mahasiswa. Tapi sejujurnya, sekarangpun gue suka susah membedakan mana benar mana salah. Kadang saat kita pikir si A orang benar, eh nggak tahunya dia cuma orang yang lagi cari panggung di stasiun TV.  Media jadi sarana distorsi kebenaran. Sepertinya memang benar waktu ada seseorang pernah bilang ke gue, bahwa gue nggak cocok masuk ke politik. Terlalu buas. Gue hanya berharap, adik gue yang politis itu bisa cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati, kayak kata alkitab. Kayaknya itu cocok jadi slogan buat politisi bersih.


Di sini gue juga berjuang dengan cara gue. Perjuangan gue memang sekarang belum terlihat berguna buat kemaslahatan umat banyak, let alone keluarga gue sendiri. Saat ini gue punya perjuangan pribadi: menyelesaikan studi gue. Gue berjuang buat melawan rasa puas yang primatur dan berjuang untuk tetap mawas diri. Dan yang paling susah dari itu semua, gue berjuang buat keluar dan pergi jauh-jauh dari comfort zone yang meninabobokan gue selama enam tahun belakangan ini. Semangat juang ini yang gue mau tularkan ke orang-orang terdekat gue, termasuk adik sepupu gue yang kemaren harus pulang ke Indonesia setelah tiba di Düsseldorf, karena bermasalah dengan visanya. Om gue yang gue pikir bakal jera mengirim anaknya ke sini, malah ternyata menganggap ini sebagai obstacle yang perlu ditaklukkan. “What doesn’t kill you makes you stronger!” is what he wrote to me over WhatsApp. Gue ingat obrolan gue dengan beliau tahun 2017 sambil lunch di Pacific Place “Asri, uda kepingin Kiky bisa belajar berjuang seperti kamu.” Om gue sadar, lahir di dalam keluarga tidak berkekurangan bisa jadi pedang bermata dua buat putra tunggalnya. Di satu sisi ada berkat di sana, tapi ada bahaya juga yang mengintai: kita bisa terlena dengan privilege yang kita dapat dari orangtua, sehingga membuat kita enggan susah. Enggan capek. Enggan berjuang. Gue bersyukur, Bapak bukan orang yang punya banyak uang. Gue sudah berkali-kali merasakan susah secara finansial. Tapi walau gitu, gue nggak menampik kadang guepun suka nggak tahu diri dan terlena dengan keadaan. Pernah ada masa di mana daya juang gue nol besar. Gue malu kalau ingat itu, dan lebih malu lagi waktu ingat perkataan om gue, dan banyak orang di luar sana yang memuji gue sebagai pejuang. Tapi hari-hari itu udah berlalu, sekarang gue fokus menatap ke depan sambil mengumpulkan sisa-sisa semangat muda gue yang masih ada. Ada banyak hal yang perlu gue perjuangkan, dari bagian terkecil sampai yang makro. Gue ingin negara gue maju, tapi sebelum itu gue mau keluarga gue punya mindset yang bener dulu. Gimana gue bisa mempengaruhi keluarga gue untuk ke arah yang positif? Dengan membenahi diri gue. Jadi in conclusion, semuanya itu kembali ke diri. 



Selamat berjuang!
"Folks I'm telling you, birthing is hard and dying is mean, so get yourself a little lovin', in between."



-Langston Hughes

Ika Natassa, si Spesialis Penyakit Percintaan Kalangan Menengah ke Atas

I  should admit that although I have sworn to myself that I will never put my fingers on anything close to chick-lit novels, I kind of read some of Ika Natassa's books, too. My first encounter with her works was exactly last year, when I accidentally found one of a movie trailer based on her novel, 'Critical Eleven'. The movie was actually released in 2017, and I don't know why I found the trailer as one of recommended videos on my YouTube a year later.

Well, since I wrote the title in Bahasa Indo, let's switch back to my beloved native language.

Seperti yang sebelumnya gue bilang, gue kenal Ika Natassa sebagai seorang penulis novel nasional kita yang cukup beken saat ini karena nggak sengaja lihat teaser/ trailer film adaptasi dari novelnya di YouTube. Karena penasaran dengan filmnya, gue-pun akhirnya nonton lewat streaming waktu itu. Ide ceritanya sebetulnya nggak ada yang baru, berkisar tentang masalah di antara pasangan akhir 20-an atau awal 30-an yang baru saja mulai masuk dalam kehidupan rumah tangga. Nggak ada yang spesial banget, selain daripada dinamika kehidupan yang digambarkan di sana tidak senorak sinetron Indonesia pada umumnya. Karena begitu banyaknya komen netizen(s) yang begitu memuja-muja novelnya, sebagai seorang yang lebih menggemari buku ketimbang adaptasi film, gue-pun tergelitik untuk membaca bukunya. Selain Critical Eleven yang gue 'lahap' hanya dalam semalam, gue juga baca satu novel Ika Natassa yang lainnya, Antologi Rasa.

Sejujurnya, gue sudah mencoba puasa membaca buku-buku bergenre chick lit atau teen lit atau sejenisnya. Beberapa buku berbahasa Indonesia yang masih gue baca di usia gue yang sekarang di antaranya buku-buku karangan Pramoedya A Toer, dan yang cukup baru, Leila S Chudori. Terakhir gue baca teenlit itu ketika gue masih masuk kategori 'teenager', yaitu pas SMA. Gue memutuskan membaca novel-novel mbak Ika Natassa sama seperti ketika gue sometimes craving for pringles or soda; karena hidup nggak selamanya tentang 4 sehat 5 sempurna. Sometimes you need another kind of foods for your thought.

Gue baru baca dua bukunya, satu filmnya, dan satu trailer filmnya yang saat ini sedang diputar di bioskop-bioskop kesayangan anda di seluruh Indonesia (nanti gue post link YouTubenya; judulnya Twivortiare.) Tapi satu hal yang gue simpulkan dari at least 3 karyanya yang gue kenal, bahwa Ika Natassa selalu mengangkat kisah dan problematika percintaan masyarakat urban menengah cenderung ke atas. Tokoh - tokoh yang ditampilkan entah itu dengan nama Ale - Anya, Beno - Alexandra ataupun Harris - Keara, semuanya punya satu persamaan: sama - sama kalangan masyarakat yang nggak perlu bergelut dengan masalah perut. Mungkin ini ada hubungannya dengan latar belakang sang autor sendiri yang juga merupakan seorang bankir sukses (seperti karakter ciptaannya Alexandra di Twivortiare) dan sudah mengecap pendidikan luar negeri pula. Gue nggak kebayang misalnya seseorang seperti let's say Widji Thukul nulis buku bertemakan seperti Critical Eleven, where the male and female protagonists met on an airplane's first class seats. Sekalipun diisi dengan konflik-konflik yang cukup umum, gue yakin banyak hal dalam cerita novel Ika Natassa yang masyarakat negara +62 agak kurang bisa merasa related.

Bukan bermaksud mengkritik, malahan gue berpikir banyak banget ya ternyata tema yang bisa diangkat dalam membuat suatu karya, entah itu film, puisi ataupun prosa. Dan dari novel-novel Ika Natassa-pun gue belajar, bahwa di dunia ini, bukan cuma orang miskin yang punya problema.



Ini trailer Twivortiare



dan ini blognya Ika Natassa

Anak Tuhan: Bentuk Sikap Elitist Sebagian Umat Kristiani?

Bagi yang dulu sekolah minggu di Indonesia mungkin familiar dengan lagu ini:

Satu anak Tuhan, pergi s'kolah minggu,
satu anak Tuhan bawa jiwa, pergi s'kolah minggu
Dua anak Tuhan, pergi s'kolah minggu,
dua satu anak Tuhan bawa jiwa pergi se'kolah minggu
Tiga anak Tuhan, pergi s'kolah minggu, 
tiga dua satu anak Tuhan bawa jiwa, pergi s'kolah minggu
etc., etc., (dinyanyikan sampe mabok menghitung atau sampe disuruh berhenti sama kakak guru sekolah minggu)

Sebagai penganut agama Kristen, sejak kecil kita sudah diajarkan bahwa ada satu identitas yang melekat dalam diri kita. Kita ini anak Tuhan. Kita umat pilihan. Kita dipilih untuk diselamatkan. The idea behind it seemed so innocent to me, until I recently felt kinda weird when someone called me "anak Tuhan."

Ceritanya begini, ada seorang ibu dari Indonesia, yang anaknya mau mulai sekolah di Jerman winter semester mendatang. Karena kebetulan universitasnya di kota tempat gue tinggal, dan si anak sampai sekarang belom ketemu Wohnung (apartment) yang pas, teman gue yang sudah kenal duluan dengan si Ibu memberi kontak gue ke si Ibu, supaya bisa tanya-tanya seputar akomodasi di sini.
Singkat cerita, gue dihubungi si Ibu (yang belakangan gue panggil dengan sebutan "Tante") lewat WhatsApp. Berhubung gue lagi nggak ada info apartment kosong, gue janji ke Tante untuk coba tanya-tanya di grup WhatsApp gereja. Ketika gue sebut tentang grup WhatsApp gereja, respon Tante jadi excited gimana gitu. Beliau bilang gini kira-kira "Wah senangnya, ternyata Asrida anak Tuhan juga ya."  

Hmmm, at the moment, I cringed so hard.

Eh, please don't get me wrong, ya. I'm sure there’s a good chance that si Tante is a really nice lady. In fact, kita udah janjian buat pergi gereja bareng bulan September nanti, waktu beliau antar anaknya ke sini. Mungkin sebagian dari kalian ada yang berpendapat, ya udahlah ya Asrida lebay bener sih lo. Emang kenapa sih kalo si Tante bilang lo anak Tuhan, salahnya di mana dah? Ya nggak apa-apa sih, you are all entitled to your own opinion, kok. Lagian gue di sini sama sekali tidak ada masalah sama si Tante secara pribadi (liat aja kita udah janjian mau gereja bareng, gitu.) Yang gue soroti di sini adalah, perlukah kita menekankan banget status ke"anak Tuhan"an itu, (hanya) karena kita orang Kristen? Bukankah dengan penekanan demikian, secara nggak langsung kita menempatkan yang bukan penganut ajaran Kristiani di luar golongan tersebut - i.e., bukan anak Tuhan?

Sebutan anak Tuhan ini bukan cuma dipakai orang Kristen untuk meng-eksklusif-kan diri mereka di antara yang bukan Kristen. Ada kalanya, orang Kristen dari satu denominasi gereja tertentu-pun, bisa merasa 'lebih anak Tuhan' ketimbang orang Kristen dari gereja lain. Ini kisah nyata yang terjadi pada sosok favorit yang sering gue sebut-sebut di tulisan gue, siapa lagi kalau bukan almarhumah nenek gue, a.k.a Opung Oma.

To those who knew her mungkin pada tahulah ya, bahwa she was a conservative HKBP-ist. Suatu ketika waktu gue masih SMP, dia pulang ke rumah dari pasar sambil ngedumel. Ternyata di pasar, dia bertemu satu saudara jauhnya yang gue panggil Opung juga (gue sejujurnya kurang paham gimana tali persaudaraan mereka). Saat mereka bertemu kebetulan ada satu orang Pendeta  (bukan HKBP) yang dikenal Opung Oma juga. Si saudara jauhnya Opung ini, yang kebetulan penganut Kristen Karismatik (tbh gue lupa nama gereja pastinya apa), katanya ngomong gini ke si Pak Pendeta:

"Pak, doakan Bapak dulu kakak-ku ini, supaya jadi anak Tuhan dia."

Sontak tersinggung, terkejut dan terheran-heranlah si Opung Oma mendengar ujaran sedemikian rupa. Gue yang di rumahpun jadi sasaran gerutunya,

"Anak ni ise ma dirippuni inanta on iba? Anak ni si bolis??" (batak: Anak siapa emangnya dikira ibu ini gue? Anaknya iblis?"

Sambil dengerin ceritanya, gue nyeletuk gini "Nah terus Opung jawab apa?"

"Ya kubilanglah, 'terima kasih bapak Pendeta, sudah anak Tuhan kok saya."

"Lho, tapi nggak papa dong harusnya tetep didoain? Nggak ada salahnya kan?"

"Ah, di ibana ma tangiang na i" ("Ah, buat dia sajalah doanya itu.")

Did you see what my point is? Gue tahu persis saat itu, ego Opung gue-lah yang sebenernya terluka waktu denger ujaran saudaranya soal masalah anak Tuhan itu. Seakan, jadi jemaat HKBP wasn't anak Tuhan enough. At least, that's how she interpreted the utterance, from her sole perspective. Seandainya tidak ada embel - embel anak Tuhan tadi, mungkin Opung gue setuju - setuju aja didoain. Namanya doa kan berkat yak, siapa coba yang nggak suka terima berkat? Sikap Opung gue menjadi sedemikian defensif, hanya karena bagian terakhir dari kalimat saudaranya tersebut. 

Gue membagikan cerita ini sama sekali bukan bermaksud menghakimi siapa-siapa. Apalagi, tiga tokoh dalam cerita lakon di pasar ini juga sudah berpulang ke pangkuan Bapa di surga semua. Gue percaya banget, tujuan saudaranya Opung itu sebenernya baik. Namun, penggunaan kata yang salah bisa mengakibatkan timbulnya jarak, dan yang lebih parahnya lagi, timbulnya perasaan dihakimi atau direndahkan pada pihak yang diajak bicara. Maka dari itu secara personal, sama seperti gue nggak suka ketika ada umat agama tertentu yang meng-kafir-kafirkan umat agama lainnya, gue juga dengan sangat berat hati mengatakan (because I know this is an unpopular opinion),  stoplah nyebut-nyebut diri lo anak Tuhan untuk meng-ekslusif-kan diri lo dari dunia ini. Apalagi kalau kelakuan lo juga belom bener-bener banget. Nggak salah sih menganggap diri anak Tuhan, after all, I believe we all are! Ungkapkanlah rasa gratitudemu sebagai anak Tuhan ke Pencipta-mu itu langsung, bukan menjadikannya alasan untuk merasa superior.

Piye? Yang tidak setuju sila komen :D

Sabar, coy

Katanya orang yang sering disakitin dan dikecewain itu pada akhirnya bakal jadi orang sabar. Gue sudah membuktikan itu. Hari ini gue sengaja bangun jam 4 pagi, masak nasi dan goreng bakwan buat bekel di tempat kerja. Gue baru aja tanda tangan kontrak kemaren banget di satu temp agency, buat kerjaan temporary di satu dog food company. Ya, kerja di pabrik gitu. Kemaren gue sengaja pulang nggak kemaleman abis jalan sama temen, supaya bisa pergi tidur early dan bangun pagi banget. Gue nge-set mood sebaik mungkin, karena gue tahu kerjaan pabrik is actually not my thing. But at the moment my choices are limited. Sampe akhirnya gue tiba di tempat kerjaannya, yang btw satu jam sendiri naik kereta dari rumah gue ya. Hal pertama yang udah bikin gue kesel adalah gue nggak nemu locker kosong buat naro barang-barang gue. Jadinya gue taro sepatu dan ransel gue di pinggiran jendela di kamar ganti, dan barang berharga seperti dompet dan handphone gue bawa masuk ke tempat kerja. Sejujurnya hal ini udah nervig banget buat gue. Kedua, baunya pakan anjing kan lo lo pada tahu sendirilah ya menyengat buset. Gue cinta anjing, tapi gue paling nggak tahan cium aroma mulut anjing yang barusan makan. Huek cuih. But again gue masih mencoba untuk positiflah ya. Gue disuruh cari shift supervisor pagi itu, dan gue samperinlah dia. Do you know what happened next? He told me that they already have enough workforce. He sent me home! Apakah gue nggak ngamuk? Tentu gue ngamuk. Sabar bukan berarti bego. Gue bilang, ini nggak fair. You (or the temp agency) should’ve told me earlier. At least that way I didn’t have to make an hour journey for nothing. Terus dia dengan senga-nya bilang wah sorry ini bukan urusan gue. Lu ngomong lah sama Firma-lu (the temp agency). Karena gue pikir there’s no use juga nge-debat si robot ini, ya udah gue pergi. Gue nyoba telpon ke kantor temp agency tapi karena saat gue tulis ini masih di bawah jam 7 pagi, kantornya tentu saja belum buka. Rencana gue adalah untuk complain dan minta untuk jangan kirim gue ke tempat itu lagi, because I can’t bear the dog food’s smell anyway. Either kirim gue ke tempat lain, atau gue berhentiin kontrak sama dia. Gue tahu pilihan gue saat ini terbatas, tapi gue yakinlah bisa dapet kerjaan yang lebih bener dan nggak bikin sakit kepala. Oh ya omong-omong, mungkin lo lo pada mikir di mana letak kesabaran gue. Toh gue ngamuk - ngamuk. Toh gue ngedumel lewat tulisan ini. Ya iya sih, but at least hati gue tentram saat ini (walaupun tidak tercermin di dalam tulisan ini :D) Gue lebih “nrimo”, nggak ada hard feeling yang gimana-gimana banget. Bagus juga gue latihan bangun pagi hari ini. Bagus juga karena gue pergi ke sana, gue tadi ketemu satu worker bapak-bapak berkebutuhan khusus yang dengan sigap nunjukin jalan ke gue, dan positive aura dari dia (yang begitu semangatnya dateng ke tempat kerja pagi-pagi) terpancar ke gue. Intinya gue nggak menyesali mesti bangun pagi hari ini, yang gue sesali adalah ketidakbecusan temp agency dalam menyalurkan pekerja, dan gue sekarang on the way ke kantornya, buat complain.





Ditulis di kereta dari Krefeld menuju Duisburg

Opini

Disclaimer: tulisan gue kali ini mungkin tidak mewakili opini orang banyak, dan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menggiring opini orang untuk sama seperti gue. Jika memang ada, intensi dari tulisan ini hanyalah sekedar berbagi kisah tentang satu hal dari sudut pandang seorang Asrida. Feel free to agree or disagree :)




Hari minggu kemaren tepatnya tanggal 7 Juli 2019, ada satu parhelatan akbar digelar di Cologne, namanya Christopher Street Day atau biasa disingkat CSD. Hari itu, ratusan atau mungkin ribuan manusia yang masuk ke dalam golongan LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and Queer) turun ke jalan untuk berparade, dan juga disertai demonstrasi. Bukan hanya mereka, banyak aktivis - aktivis pendukung hak - hak kaum LBGTQ juga turut serta di sana. Sore itu, kereta gue pulang dari Bonn menuju Duisburg sesak penuh dengan para peserta parade, berhubung Cologne adalah salah satu kota yang dilewati. Karena kereta penuh, gue terpaksa harus berdiri di gerbong khusus sepeda. 

Berhubung perjalanan lumayan jauh, gue seperti biasa melakukan observasi terhadap keadaan tiap penumpang di kereta. Seperti tadi gue bilang, penumpang kereta terutama di gerbong gue didominasi sama peserta parade CSD, walaupun ada sebagian juga penumpang biasa kayak gue yang kebetulan bepergian di hari minggu itu. Gue lihat ekspresi lelah tapi bahagia menghiasi wajah mereka. Kebanyakan dari mereka adalah kaum muda, gue taksir berusia sekitar 30 tahunan ke bawah, walaupun ada satu pria yang mencuri perhatian gue karena terlihat paling “senior” dibandingkan yang lainnya.

Waktu mata gue berpindah ke tempat lain (tentunya observasi ini gue lakukan dengan tidak terang - terangan seperti misalnya memelototi satu persatu penumpang di kereta, karena gue tahu itu tidak sopan), gue melihat sepasang gadis muda mungkin berusia akhir belasan tahun sedang bercengkrama dan bermanja - manjaan dengan satu sama lain. To my surprise, seeing this doesn’t bother me as bad as it might do when I was still younger. Gue melihat ke arah mereka sepersekian detik, sebelum gue akhirnya memalingkan wajah ke arah jendela. Gue di situ mikir, “Apa ini artinya gue sudah menerima fenomena pasangan sesama jenis sebagai bagian dan hal yang lumrah dalam kehidupan?” For a moment, I kind of blamed holywood since it’s by them that I’ve been exposed with LBGT culture through movies and series, which now makes me 'immune' from seeing two girls kissing. Don’t get me wrong, gue bukan tipe orang yang kenceng - kenceng bilang “amit amit” atau bahkan ngelepeh saat menyaksikan adegan semacam itu (and yes, I know a story about an indonesian girl who spitted on the ground right after witnessing two guys kissing in a Paris metro, right in front of the guys, and the rest of the story was quite ugly for the girl) tapi sejujurnya, di dalam diri gue ada sesuatu ketidaknyamanan ketika melihat sepasang insan berjenis kelamin sama bercumbu. Buat gue, itu simply nggak natural aja. Ini terlepas dari apa yang diajarkan dan dipercayai oleh agama gue, because right now I’m not talking about my religious believe, I’m talking about my immediate, basic feeling when it comes to react about something. Tapi kemaren gue menyadari, diri gue tidak terusik dengan pemandangan tersebut, separah yang biasanya gue pikir. Rasa nggak nyamannya hampir sama saja saat gue lihat pasangan heteroseksual ber-PDA (Public Display of Affection atau mempertontonkan kemesraan di muka umum). Memang, I’m not a fan of PDA. 

Tapi satu hal yang gue seketika sadari saat itu adalah, kalau lo memang merasa nggak nyaman atau nggak suka lihat sesuatu, lo bisa tinggal buang muka dan berhenti melihat hal tersebut. Nggak ada orang yang memaksa lo untuk lihat sesuatu, kalau memang lo nggak mau. Hal ini berlaku juga sama tayangan di televisi yang misalnya menurut lo nggak bermutu. Nggak ada yang maksa lo nonton acara itu, lo bisa ganti channel. Atau lo bisa matiin TV, dan baca buku misalnya, atau jalan - jalan ke taman. Terkadang kita sibuk memperdebatkan sesuatu, menggerutu tentang dan mengutuki sesuatu padahal kita bisa mengambil langkah untuk menghindari hal tersebut. Soal pelaku LBGT, banyak teman - teman seagama gue bilang, kalau kita sebagai umat beragama yang tahu 'hal yang lebih baik' punya beban moral dan berkewajiban untuk mengajak saudara - saudara yang jalannya “melenceng” itu untuk kembali ke jalur yang benar.  Atau setidaknya mendoakanlah. Gue pikir, kalau memang kewajiban gue adalah mendoakan tiap - tiap masalah di dunia ini, biarlah gue minta kemampuan terlebih dahulu dari Tuhan untuk melakukan itu. Tapi sebelumnya, gue juga mau diperlengkapi dengan hati yang tidak gampang menghakimi orang lain.

Di tengah stasiun Düsseldorf dan Düsseldorf Airport, kereta ngerem mendadak. Gue yang berdiri dengan sendal hak tinggi yang heboh hampir aja jatuh ke sisi kanan. Di sebelah kanan gue, seorang pria homoseksual berkulit cokelat kinclong bersikap siap mau menangkap gue kalau - kalau gue jatuh ke arahnya. Gue tersenyum, tanda terima kasih gue. Senyum gue akan tetap sama sekiranya dia itu hetero, bi, anak kecil, orang muda, kakek - kakek, nenek - nenek, asia, kulit gelap. Apapun itu, tindakan baik layak mendapatkan balasan yang baik pula. Gue tahu beberapa orang dari kaum LBGTQ yang kelakuannya norak dan nggak jelas, tapi yang hetero juga lebih banyak. Okelah ini dikarenakan populasi orang ber-orientasi seksual hetero lebih banyak dibandingkan yang homo atau bi-, namun poinnya adalah, kita nggak bisa menjadikan orientasi seksual seseorang sebagai tolak ukur untuk menilai kepribadiannya dan juga sebagai penentu bagaimana kita harus bersikap terhadapnya. Dan kita nggak perlu jadi aktivis pejuang hak LGBTQ untuk bersikap baik dan respectful terhadap mereka. Kita bahkan nggak perlu setuju sama lifestyle mereka (gue yakin ada orang yang pro-lgbt di luar sana yang mikir gue bigot karena gue nggak nyaman lihat cewek sama cewek ciuman.) Kita hanya perlu menjadi manusia. Menjadi manusia itu apa sih? Menurut gue simpelnya jadi manusia itu, perlakukanlah orang lain sebagaimana lu mau diperlakukan. Lo nggak mau disentil? Jangan sentil orang lain duluan. Lo lagi susah mau ditolong? Mulailah dengan menolong orang lain duluan. Boleh fokus sama hubungan vertikal dengan Tuhan, tapi jangan abaikan hubungan horizontal dengan sesama, sekalipun terkadang paham kita dengan sesama suka bentrok.

Renata dan Ursula




Waktu gue dulu pernah kerja babysit di satu keluarga Jerman di Hamburg, ibu dari si anak yang gue jaga pernah bilang gini "Asrida, kalo saya perhatiin kamu itu gampang deket ya sama orang tua." Bukan tanpa alasan dia ngomong gitu ke gue, sebelumnya dia lihat gue ngobrol akrab sama ibunya, atau neneknya anak-anak, yang umurnya saat itu 72 tahun. Dia bahkan bilang kalau gue kelihatan lebih enjoy ngobrol dengan ibunya daripada dia, yang gue bales dengan cengengesan aja. Gue nggak heran sebenernya kalau orang bisa berpikir demikian, karena memang gue sangat menikmati kesempatan mengobrol dengan senior citizens atau orang-orang berusia lanjut. Mungkin aja ini ada hubungannya dengan fakta bahwa gue dibesarkan sama opung boru (nenek) selepas nyokap meninggal, sehingga berkomunikasi dengan orang tua merupakan satu hal yang natural buat gue. 

Sebulan ini gue mengalami masalah kesehatan yang membuat gue harus sering bolak balik ke rumah sakit dan bahkan beberapa kali diopname. Soal ini gue akan tulis lebih mendetail di lain kesempatan, tapi tulisan kali ini khusus menceritakan tentang dua 'teman baru' gue yang namanya gue sebut di judul entry ini. Gue kenal mereka waktu kami sama-sama terbaring lemah di satu rumah sakit katolik di kota Duisburg. 

Renata adalah penduduk pertama di kamar stasiun nomer 25 itu. Dia tidur di sebelah jendela. Umurnya 81 tahun dan dulunya, dia dan almarhum suaminya Hans punya restoran cepat saji yang cukup terkenal di Duisburg, namanya Hähnchen Hans (Hähnchen dalam bahasa indonesia artinya ayam or chicken in english). Dia seneng cerita (BANGET), terkadang mengulang-ulang cerita yang sama di kesempatan berbeda, tapi gue tetap menikmati setiap ceritanya. Favorit gue adalah ketika dia sebut nama suaminya, dia selalu bilang 'Mein Hans' yang artinya Hans-ku, dan gue bisa lihat dari seberang ruangan bahwa matanya berbinar waktu bilang itu. Usaha restoran mereka terpaksa harus ditutup 10 tahun yang lalu karena baik Hans maupun Renata udah terlalu uzur untuk mengelolanya, dan anak mereka satu-satunya Petra memilih untuk berkarir sebagai konsultan pajak. Hans sendiri berpulang ke pangkuan Sang Pencipta bulan November 2018 silam. Gue bisa lihat betapa Renata masih heartbroken ditinggal Hans-nya, ditambah lagi dengan kondisi kesehatannya yang memburuk saat ini, but I'm so impressed that she could still manage to crack some jokes and share a laugh or two with me in that gloomy hospital room. Sekali gue datang ke dekat tempat tidurnya waktu gue udah cukup kuat selepas operasi, dia kesusahan buat buka toples herring saladnya dan gue datang buat membantu. Dengan mata berbinar-binar dia berterima kasih ke gue, seakan akan gue baru aja ngasih dia duit satu juta euro.

Ursula datang di malam kedua gue di rumah sakit, diantar putri semata wayangnya Barbara. Dia dibawa ke emergency room malam-malam karena terpeleset di apartment tempat dia tinggal sendirian, selepas kepergian suaminya lebih dari 20 tahun lalu. Ursula berusia 5 tahun lebih tua dari Renata, namun secara physically terlihat lebih sehat. Waktu dia tiba, gue lagi setengah tidur karena pengaruh pain killer yang bikin drowsy. Gue denger Renata ngomong dengan nada setengah serius setengah bercanda "You could not be any luckier to end up in this room, because we are the best neighbours you could ever get in this hospital. That young lady who's sleeping next to you, well she's an angel." (the original dialog was of course in German) Gue yang mendengar itupun kupingnya jadi besar dan perasaan GR membuncah di dada. Tiba-tiba suster datang membangunkan gue untuk periksa tekanan darah, yang membuat gue akhirnya bisa lihat dan berkenalan dengan tetangga baru gue ini. Ursula punya tampilan yang hampir mirip dengan Renata, mereka sama-sama punya rambut putih yang dipotong pendek model bob dan mata yang indah berwarna biru atau abu-abu. Setelah membantu ibunya berganti baju tidur, Barbara pamit pulang ke kami bertiga. Ursula yang nggak kalah chatty-nya sama Renata itupun ngajakin kami ngobrol ngalor ngidul mulai dari tentang Thysen Krupp (perusahaan baja terkenal berbasis di Duisburg di mana ayah mereka berdua sama-sama pernah bekerja), André Rieu (pemain biola dari Belanda yang ternyata gue dan Ursula sama-sama idolain), sampai ke Luciano Pavarotti. Seperti kebanyakan lansia pada umumnya mereka punya masalah sulit tidur atau insomnia. Gue ingat banget dulu karena almarhumah opung juga punya masalah yang sama. Gue yang karena pengaruh obat jadi gampang ngantuk, kadang ketiduran, tapi waktu gue bangun lagi, dua golden girls itu masih aja cerita seru tiada henti. Gue ingat Ursula bilang gini "Di rumah kalau gue susah tidur, biasanya gue baca-baca surat cinta nyokap dan bokap gue yang masih tersimpan rapi. Kadang gue juga nulis puisi atau sejenis diary, gue tulis semua yang gue ingat di masa lalu, pertama kenal suami, menikah, punya anak. Kerjaan gue. Menulis seperti terapi buat otak gue, dan gue berharap suatu saat ketika ingatan gue makin lemah, gue bisa baca-baca lagi tulisan itu. Sayangnya sudah beberapa lama gue susah buat pegang pensil karena arthritis." 

Sejujurnya gue amat mengutuki keterbatasan bahasa Jerman gue karena mungkin ada beberapa hal yang nggak 100 persen gue tangkep dari cerita mereka. Gue bersyukur banget penyakit gue bisa mempertemukan gue sama dua wanita hebat yang cerita hidupnya menginspirasi gue dalam banyak hal ini. Gue belajar tentang cinta ibu yang tanpa syarat waktu Renata begitu bahagia dan bangganya cerita tentang Petra, putri semata wayangnya yang selama gue 3 malam diopname nggak sekalipun gue lihat datang jenguk ibunya. Gue belajar kemandirian, ketidakbergantungan pada orang lain sekalipun itu keluarga lo sendiri. Gue belajar kesetiaan pada pasangan sampai akhir hayat. Siang sehari sebelum gue discharged dari RS, Renata dipindahkan ke institusi lain. Ursula nangis, sedangkan gue yang entah karena nggak mau kelihatan cengeng atau karena air mata gue udah kering habis nangis di hari-hari yang lalu, cuma berkaca-kaca sambil megangin tangan Ursula. Gue nggak paham gimana caranya kita bisa bonding dalam waktu semalam doang. Waktu sorenya Ursula juga dijemput Barbara, dia nggak cuma mau disalam sama gue, tapi dia tarik gue ke pelukannya. Ada rasa haru yang nggak bisa gue jelaskan, rasa rindu gue ke Opung yang membesarkan gue, rasa sayang ke wanita hebat yang gue peluk ini. Dia juga nggak lupa minta alamat gue di Duisburg, dengan alasan ingin berkirim surat, dan gue juga melakukan hal serupa. Satu hal terakhir yang gue ingat mereka bilang, bahwa di jaman mereka masih kecil, adalah hal yang lumrah untuk kakek dan nenek tinggal bersama di rumah bersama mereka dan orangtua mereka. "Tapi kalau jaman sekarang, anak-anak berlomba-lomba ngirim orangtua mereka ke Altesheim (panti jompo)" kata Ursula. Kedua wanita ini merupakan golongan orang tua yang memilih untuk tinggal sendiri di apartement mereka, walaupun pilihan ini bukan tanpa resiko. Ursula bisa masuk rumah sakit karena jatuh di apartementnya sendiri. Mungkin para warga senior ini memang memiliki sense of independency yang sangat tinggi, tapi menurut gue nggak ada salahnya buat anak dan cucu mereka untuk lebih meluangkan waktu mengunjungi mereka, sekalipun hanya untuk sekedar berbagi cerita.

Standard English vs. Dialects (Summarising HW)

The article titled “The importance of proper and improper English”, Johnson (November 2nd 2017) explains some criticisms of Tom Sherrington’s blog post titled “Let’s talk properly”, which is addressed to teachers, asking them to encourage students to communicate in standard English. The critics come from Rob Dummond, a linguist at Manchester Metropolitan University and Oliver Kamm, a journalist at the Times. They criticise the use of the word “properly” along with related words like “correct”, suggesting that such fierce argument sums up the way academic linguists (especially sociolinguists) see standard English. While teachers see a sentence such as “I aint done nothing” as simply wrong, linguists find dialects as rule-governed, coherent and fully expressive; which only sound wrong to those who don’t understand the rule. There might be political aspect surrounding the debate. Dialects are usually linked to poor, non-white and less educated society, which leads to false discourse that their language must be one of the things that holds these people back. Both sides agree that standard English is indeed necessary, and while it’s fine to speak it in different accents, grammatical correctness is absolutely needed. But children who speak other than standard English at home, should not be discouraged about their home speech. After all, dialects are as valuable as the standard English, they give the speakers some sense of belonging and identities. Children should rather be taught the occasion, where and when they need to switch between language varieties. Teaching the ability to understand the difference, or even translate one variety of language to another is proven to be more effective than to prevent the students to speak in dialects at all. (277 words)



The original article can be found here:

Sampai Jadi Debu





Belakangan ini gue lagi seneng dengerin satu lagunya 'Banda Neira' yang judulnya 'Sampai Jadi Debu'. Liriknya pendek dan simple begini:

Badai Tuan (Puan) telah berlalu, salahkah ku menuntut mesra?
Tiap pagi menjelang, kau di sampingku
Ku aman ada bersama mu Selamanya... Sampai kita tua Sampai jadi debu Ku di liang yang satu, ku di sebelahmu

Lagu ini dengan segala komponen di dalamnya menjadi satu kesatuan yang ciamik di telinga gue. Intro dengan dentingan pianonya yang indah, suaranya Rara Sekar (yang gue barusan find out ternyata mbak kandungnya Isyana Sarasvati) yang soothing, liriknya yang nggak banyak kata-kata tapi sarat makna. I shamelessly admit that I sobbed like a crybaby when I first listened to the song properly (and it was in a train full of people HAHAHA). Gue bilang properly, karena sebenernya gue udah pernah denger lagu ini sebelumnya, tapi memang hanya sepintas dan nggak bener-bener kayak mencerna kata-katanya gitu. 
Pas gue dengerin lagu ini di kereta itu, pikiran gue melayang ke Siborong-borong, kampung halaman gue di Sumatera sana, tempat di mana jasad kakek dan nenek gue dimakamkan berdampingan. Jarak waktu kepergian mereka memang lumayan jauh (kakek di tahun 1981 sedangkan nenek menyusul di tahun 2016 silam) namun arrangement ini sudah dibuat jauh sebelum mereka pergi meninggalkan dunia fana ini. Jadi ceritanya, orangtua dari kakek gue punya satu kavling tanah yang diperuntukkan khusus untuk tempat peristirahatan abadi mereka dengan keturunan-keturunannya. Hal seperti ini memang common dalam tradisi batak, dan juga mungkin etnis lainnya di Indonesia. Di tempat itu, pasangan suami dan istri dimakamkan bersebelahan satu dengan yang lainnya. 
To me, my Grandma was a living testimony that being buried next to your significant other can be something to look forward to :D Gue inget banget, selain udah menyediakan kebaya yang mau dia pakai di peti matinya, nenek gue juga selalu bilang bahwa nanti dia akan 'tidur' bersebelahan dengan kekasih jiwanya, kakek gue. 
Bagi gue sih, dikubur sebelahan atau tindih-tindihan atau nggak, gue percaya gue akan bersatu sama orang-orang yang gue cintai di dunia sana nanti. Mungkin bukan dengan bentuk yang seperti sekarang, dan mungkin bukan dengan cara-cara yang bisa gue bayangkan, tapi gue percaya gue akan ketemu mereka lagi nanti, terlepas gue dikubur dekat mereka, atau dikremasi (which I highly consider, karena harga tanah kuburan kan mahal). Tapi gue dapat memahami keinginan banyak orang untuk dimakamkan dekat dengan orang yang mereka cintai, kayak yang di lagu Banda Neira ini. Waktu kita begitu nyaman dan amannya berada di dekat seseorang, bukankah yang kita inginkan adalah terus berada di sebelahnya? Bahkan mungkin kematianpun nggak cukup untuk menjadi penghalang untuk kita ingin terus berada bersama-sama dengan mereka.

Upaya Sia Sia Mendefinisikan Cinta

Kemarin saya berbincang dengan seorang teman yang usianya terpaut lumayan jauh di atas saya. Konon katanya, semakin banyak umur seseorang, semakin banyak pula pengalamannya. Jadi saya bertanya dong, “Kak, kakak lebih memilih mencintai atau dicintai?” Pertanyaan klise memang. Dan sayapun berekspektasi untuk mendapatkan jawaban yang tidak kalah klisenya; seperti yang sering  banyak perempuan bilang, “mending dicintai daripada mencintai.” Katanya, belajar mencintai orang itu lebih mudah, daripada mencoba membuat orang yang nggak cinta jadi cinta sama kita. Jadi saya pikir, jawaban si kakakpun pasti akan menyerupai format itu. Nggak tahunya dia jawab begini, “Saya memilih dicintai, karena kalau sampai harus berpisah, hati saya nggak akan sesakit kalau saya mencintai orang tersebut.” Hmm, menarik, pikir saya. Lalu saya tanya lagi, “Pentingkah ada cinta di dalam pernikahan?” Lalu jawabnya “Tidak. Yang terpenting itu komitmen. Pasangan yang bertahun-tahun menikah, sudah tidak ada cinta lagi. Yang ada hanya perasaan nyaman, saling membutuhkan, dan komitmen.” “Lalu apakah pasangan kakek nenek yang jalan sambil gandengan tangan itu bukan karena cinta?” saya tanya lagi. “Itu tadi yang saya bilang rasa nyaman,” jawabnya.


Sekarang saya jadi berpikir, sebenarnya apa sih cinta itu? Katanya di dalam bahasa Yunani, ada 4 kata yang dapat diartikan ke dalam bahasa inggris sebagai cinta, atau “love” dalam bahasa inggris, walau memiliki makna yang berbeda-beda.  Ada philiaerosstorge dan agape. Saya nggak kepengen membahas terms of love in greek ini, saya yakin kalian semua udah tahu lah. Ini saya hanya sedang mencoba mengerti, tentang apa sih sesungguhnya cinta itu.



Detik ini ada begitu banyak perasaan yang saya rasakan, terhadap berbagai orang yang berbeda, yang mungkin bisa didefiniskan sebagai cinta. Tapi karena sayapun nggak punya definisi yang definite soal apa cinta itu, saya jadi kurang yakin apakah perasaan itu memang cinta apa bukan. Saya juga nggak tahu, apa sih tanda cinta itu? Apa berkirim pesan tiap hari untuk saling bertanya kabar? Mengingatkan jangan lupa makan, mandi, buang air, bernafas? Berkorban waktu, tenaga, perasaan? Mendoakan dari jauh? Ciuman yang membuat lutut lemas? Pelukan yang hangat dan lama? Bagi tiap orang, mungkin jawabannya akan berbeda-beda. Ada yang mungkin ngamuk-ngamuk kalau pasangannya lupa ngingetin dia buat makan, dianggapnya sudah tidak cinta. Ada yang mungkin berpikir, cinta bukan cuma sekedar hal remeh temeh kayak begitu. Saya pikir sih nggak ada yang salah dan nggak ada yang absolutely benar. Bagi saya, cinta itu bukan untuk didefinisikan. Biarkanlah dia dengan segala keabstrakannya. Menurut saya, ketika saya ingin orang-orang terdekat saya bahagia, itu sekedar karena mereka adalah bagian dari diri saya, dan ketika mereka bahagia, sayapun demikian. Apakah lantas itu definisi cinta? Ya tergantung tanyanya ke siapa. Atau ketika saya melihat dia yang tidur di lantai supaya saya bisa tidur di kasur, apakah lantas saya langsung GR dan berpikir dia “berkorban” karena cinta sama saya? Ya nggak juga. Bisa aja itu cuma act of courtesy saja, ndak lebih. Atau cintakah itu kalau saat ini saya berharap bisa mendengar dengkurannya yang mungkin mengisyaratkan kalau tidurnya nyenyak? Nggak juga. Pada dasarnya, saya nggak mau lagi menebak-nebak dan mendefinisikan perasaan saya, apalagi perasaan orang. Saya sudah capek berada dalam posisi di mana saya mencoba memahami apa perasaan orang terhadap saya, dan perasaan saya terhadap orang tersebut. Untuk saat ini, saya memilih untuk tidak melabeli perasaan apapun itu yang saya rasakan terhadap seseorang, atau sesuatu. Saya hanya ingin meresapi dan menikmatinya, selagi saya masih bisa.